PEMILU semakin dekat, dunia maya pun kian riuh rendah. Alhasil, media sosial (medsos) kini dicap biang keributan.
Serangan personal, bully online, dan perang opini merajalela di beranda digital. Platform X (dulu Twitter), barangkali, jawara dalam hal ini.
Di sana, debat kusir tanpa henti, saling hujat dan ejekan menjadi tontonan harian. Platform lain pun tak jauh berbeda. Facebook, Instagram, bahkan LinkedIn, yang bercita-cita sebagai ruang profesional, tak luput dari drama.
Dari sinilah muncul anggapan bahwa platform medsos memang diciptakan untuk memicu kehebohan. Memang benar, algoritma dirancang untuk memaksimalkan "engagement", mengutamakan luapan emosi ketimbang perbincangan reflektif dan rasional.
Konten sensasional, penuh "bumbu" kontroversi, jelas lebih laku ketimbang diskusi intelektual mendalam. Bahkan ada yang menyebut, medsos tak ubahnya mesin perang psikologis, memancing amarah dan adu domba demi klik dan keuntungan.
Masalah medsos lebih dalam dari sekadar keserakahan dalam pemanfaatan teknologi canggih. Medsos, pada dasarnya, adalah gejala (a symptom), bukan penyebab (a cause).
Kegaduhan yang merajalela di dunia maya hanyalah cerminan dari keadaan masyarakat kita yang sesungguhnya (Bylund, 2024).
Dengan kata lain, dinamika media sosial bukanlah penyebab utama demokrasi yang sakit, melainkan gejala dari dukungan masyarakat terhadap ideologi demokrasi.
Artinya, cara media sosial berfungsi atau karakteristiknya yang kian kontroversial adalah hasil dari penerimaan secara luas dalam masyarakat terhadap ideologi demokrasi.
Betapa tidak, demokrasi menganjurkan pluralitas opini dan kebebasan berbicara. Media sosial, sebagai platform yang memungkinkan berbagai suara diungkapkan, dapat mencerminkan nilai-nilai ini dan terkadang menciptakan lingkungan yang penuh dengan beragam pandangan.
Demokrasi sebagai sistem memang telah berevolusi. Dari sistem pemilihan perwakilan di masa Athena kuno, kini menjadi "one man, one vote" ala negara kesejahteraan (welfare states) Barat. Namun, di tataran ideologis, terjadi penyimpangan.
Egalitarianisme, yang awalnya menekankan hak asasi individu menjadi cita-cita kesetaraan absolut. Ketimpangan ekonomi, perbedaan pendapat, bahkan kesuksesan individu kini dipandang sebagai anomali yang harus dihapus.
Inilah tantangan demokrasi modern dalam menyeimbangkan sistem dengan ideologi. Demokrasi sebagai sistem harus menjunjung tinggi kebebasan individu dan supremasi hukum, sementara demokrasi sebagai ideologi sering kali tergoda untuk menggunakan kekuasaan mayoritas untuk memaksakan kesetaraan dalam segala hal, yang dapat menggerus hak-hak individu dan melemahkan tatanan hukum (Chair, 2024).
Dampaknya, di ruang digital yang mendewakan keramaian, suara para pakar tak lagi ditakar berdasarkan keahlian, melainkan jumlah pengikut. Kedalaman dialog dan diskusi hilang ditelan teriakan mayoritas.
Siapa pun yang berani melontarkan opini kontra arus berpotensi dicap pengkhianat atau musuh. Diskusi sehat digantikan oleh penggiringan opini secara masif, di mana kebenaran ditentukan oleh kekuatan suara, bukan logika dan argumen.
Maka tak mengherankan muncul gerakan anti-intelektualisme, di mana keahlian dan pengetahuan dipandang tak relevan.
Ketidakpercayaan terhadap pakar merajalela. Siapa pun berhak menyatakan diri ahli, asalkan mampu menggalang massa.
Fakta terdistorsi, dipelintir, dan disesuaikan dengan kepentingan kelompok. "Bubble" informasi mengisolasi individu dari realitas objektif.
Medsos hanyalah cermin. Ia tentu tak serta merta menciptakan histeria dan perpecahan, tapi memperbesar apa yang sudah ada di masyarakat.
Demokrasi dalam wujud ideologi populisme egalitarian telah melemahkan akal sehat, meredam dialog konstruktif, dan menumbuhkan mentalitas “preman dan gerombolan”.
Pemilu 2024 akan menjadi ajang pembuktian apakah demokrasi di Indonesia masih sehat atau sudah terjangkit populisme egalitarian.
Jika demokrasi masih sehat, maka pemilu akan menjadi ajang dialog dan pertukaran gagasan yang sehat, di mana semua suara didengar, dihormati, dan dipertimbangkan, tanpa memandang jumlah pengikut atau kemenjeritan suaranya.
Namun, jika demokrasi sudah terjangkit populisme egalitarian, maka pemilu akan menjadi ajang histeria dan perpecahan, di mana suara mayoritas akan mendominasi dan suara minoritas akan dibungkam.
Populisme egalitarian, di satu sisi mendukung kesetaraan, namun di sisi lain dapat menciptakan dinamika di mana suara mayoritas mendominasi.
Kekhawatiran ini muncul jika pengaruh mayoritas menghambat perlindungan hak individu dan kepentingan minoritas.
Populisme egalitarian, jika tidak dielaborasi dengan baik atau jika terlalu diterapkan tanpa mempertimbangkan mekanisme perlindungan hak-hak individu, dapat membuka pintu bagi bentuk-bentuk otoritarianisme. Pengaruh mayoritas yang kuat bisa merugikan kebebasan dan hak-hak individu.
Untuk itu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk mencegah pemilu 2024 menjadi ajang histeria dan perpecahan.
Pertama, pendidikan kritis dan literasi digital. Masyarakat perlu dibekali dengan kemampuan untuk berpikir kritis dan memilah informasi secara akurat, agar tidak mudah terprovokasi oleh konten-konten sensasional di media sosial.
Kedua, penguatan wacana publik yang sehat. Media massa dan lembaga swadaya masyarakat perlu aktif mendorong dialog dan pertukaran gagasan yang sehat, di mana semua suara didengar dan dihormati.
Ketiga, penegakan hukum yang tegas tak bisa ditawar lagi. Negara perlu tegas menindak penyebaran disinformasi dan ujaran kebencian, agar tidak memperburuk suasana menjelang pemilu.
Medsos tentu tak perlu diisolasi dalam mengawal pemilu kita. Hanya, yang perlu kita ubah adalah paradigma demokrasi kita.
Kita harus kembali pada inti sari demokrasi sebagai sistem kebebasan individu dan supremasi hukum, bukan tirani mayoritas atau penyamaan paksa.
Media sosial sebenarnya bisa menjadi wadah yang atraktif untuk memperdalam pemahaman, memperluas wawasan, dan memperkuat ikatan sosial.
Namun, hanya jika kita melepaskan kacamata ideologi yang kabur dan abu-abu serta belajar menggunakannya dengan bijaksana.
Medsos bukan arena perpecahan yang meresahkan, melainkan ruang untuk dialog yang setara, beradab, dan produktif.
Perlu diingat bahwa keramaian, keriuhan, atau kegaduhan itu sama sekali tak sama dengan demokrasi. Penggiringan opini tak sama dengan kebenaran.
Mari wujudkan demokrasi sejati, di mana semua suara didengar, dihormati, dan dipertimbangkan dalam tatanan pesta demokrasi kita.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.