Langkah tersebut lebih baik dibanding beliau menyatakan netral, tetapi secara subtansial menggunakan fasilitas negara dan perangkat kekuasaan pemerintahan berpihak kepada sang anak.
Saya kira hal ini akan menambah akumulasi krisis etik terhadap lembaga kepresidenan. Pertunjukan terbuka atas konflik kepentingan kian merusak tatanan sistem pemerintahan dan negara hukum.
Bila Presiden Jokowi tidak cuti, maka beliau berpotensi menabrak pasal 282 UU No 7 tahun 2017. Saya kutipkan pengaturannya, “pejabat negara, pejabat struktural, dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri, serta kepala desa dilarang membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu selama masa Kampanye”.
Tersurat jelas dalam pasal di atas, Presiden Jokowi bukan peserta pemilu. Hendaknya Presiden Jokowi memberikan teladan etik sehingga menjadi tuntunan nyata bagi aparat di bawahnya.
Kita tidak ingin presiden hanya menjadi milik satu kelompok politik tertentu. Kita ingin presiden yang memberikan teladan baik di akhir masa pemerintahannya, meninggalkan warisan suksesi kepemimpinan nasional secara demokratis.
Tonggak ini penting, sebab bila kemenangan pemilu dihasilkan melalui proses membabi buta, taruhannya adalah legitimasi etik, dan kepercayaan rakyat atas presiden dan wakil presiden terpilih.
Krisis etik itu akan melahirkan krisis baru pascapemilu kelak, meskipun belum tentu menjelma menjadi krisis politik.
Setidaknya wibawa kepemimpinan nasional akan turun dan kita mendapati kepatuhan semu di tengah rakyat. Semoga tidak terjadi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.