MUHAMMAD Jusuf Kalla (JK) bangkit, berpolitik lagi. Pascamenjabat wakil presiden ke-12 (2004-2009), JK cenderung menjadi begawan politik, tidak aktif berpolitik praktis, lebih banyak menyampaikan pandangan politik.
Ketika Presiden Jokowi memandang debat capres kabablasan, menyoal materi debat dan minta KPU mengubah format debat, JK tampaknya membaca alur demokrasi makin tidak sehat.
Cawe-cawe Jokowi dinilai makin dalam untuk kepentingan status quo sekaligus memenangkan pasangan capres-cawapres nomor dua, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming. Peristiwa ini terjadi pascadebat putaran tiga.
Hiruk-pikuk proses pencalonan Gibran melalui campur tangan “paman” di Mahkamah Konstitusi (MK). Kemudian Jokowi makin intensif untuk mempertahankan kekuasaan, dengan mengubah posisinya sebagai kepala negara menjadi layaknya “juru kampanye” pasangan capres-cawapres Prabowo-Gibran, dan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang dipimpin anaknya, Kaesang Pangarep, JK tampak bergeming, sekadar memonitor.
Ketika dominasi petahana dalam proses demokrasi makin kuat, pada saat Jokowi mencoba mengintervensi lagi materi dan format debat, JK sepertinya membaca situasinya bisa tidak terkendali apabila Jokowi tidak mendapat lawan sepadan.
Usai bertemu Capres nomor satu Anies Baswedan, JK mulai muncul di hadapan publik dan mendeklarasikan mendukung pasangan Anies-Muhaimin.
Penampilannya depan publik, disertai statemen, menyasar Jokowi dan Prabowo berkaitan problem transparansi pengadaan alutsista, inefisiensi belanja infrastruktur keamanan, penguasaan lahan oleh capres dua, itu strategi JK untuk memantik perubahan konstelasi politik nasional.
Presiden Jokowi menyampaikan pendapat bahwa persoalan pertahanan dan keamanan tidak bisa didiskusikan secara terbuka karena isu-isu pertahanan tidak selayaknya toko kelontong yang boleh diketahusi isinya oleh siapapun.
Di dalamnya terdapat data-data tentang postur pertahanan, anggaran, dan lainnya. Terdapat rahasia negara di dalamnya.
Kemudian masalah kepemilikan tanah oleh Prabowo, itu sebagai ranah privat atau personal yang tidak layak menjadi isu debat.
JK mengubah alur pertarungan wacana. Sejumlah pertanyaannya tentang pengadaan senjata yang cenderung tidak sesuai kebutuhan, kejanggalan harga, kelayakan alat senjata, sampai persoalan penguasaan tanah, membuka pengetahuan baru kepada masyarakat.
Pertanyaan capres soal pengadaan pesawat, wajar disampaikan ketika proses dan produk yang mau dibeli “bermasalah”.
Menurut dia, pembelian pesawat untuk pertahanan perlu diukur dari segi teknologi dan usia pesawat. Pesawat yang diincar usia pakai 25 tahun. Ini identik teknologi pesawat berusia sama dan canggih pada masa 25 tahun silam.
Pesawat yang mau dibeli Kementerian Pertahanan, kata JK, sebanyak 12 pesawat, usia 25 tahun, harga Rp 1 triliun per pesawat. Menurut JK, pemerintah beberapa kali beli pesawat bekas, tetapi usianya tidak terlalu tua, harganya tidak terlalu mahal.
Persoalan penguasaan lahan 340.000 hektare di Kalimantan Timur, JK membantah kalau Anies dianggap memfitnah. Faktanya, Prabowo membeli lahan itu dari pabrik kertas PT Kiani Lestari milik Bob Hasan pada 2004.