“Saya mohon maaf atas pernyataan atau pertanyaan saya tersebut… Dan kami juga memastikan, tidak ada niatan sedikitpun untuk merendahkan, menyakiti hati keluarga kami yang bersuku… bersuku Sunda,” contohnya.
Seperti Arteria, kata “Kami” juga mendominasi teks permintaan maaf Arya.
“Yang kedua, kami sampaikan, bahwa pada saat itu kami memberikan arahan kepada petugas Bea Cukai yang hadir dan juga Pimpinan Bea Cukai… kami menyarankan, untuk dapat menggunakan menggunakan bije atau beras suci yang biasanya didapat setelah persembahyangan. Dan, maka dari itu, kami tidak menyebutkan nama agama apapun, nama suku apapun, dan juga kepercayaan apapun,” contohnya.
Mengapa penggunaan kata ganti orang pertama menjadi penting dalam konteks ini?
Penelitian oleh Lazaridis School of Business and Economics, Wilfrid Laurier University, Kanada, berjudul “(I’m) Happy to Help (You): The Impact of Personal Pronoun Use in Customer-Firm Interactions (2019)”, menyatakan penggunaan kata “Saya” meningkatkan kepuasan dan penjualan pada pelanggan daripada kata “Kami”.
Dari 1,277 interaksi email pelanggan dan data penjualan ritel menunjukkan bahwa menggunakan kata “Saya” 10 persen lebih banyak meningkatkan penjualan sebesar 0.8 persen.
Dari 90 persen kasus yang mengganti penggunaan kata “Kami” ke “Saya”, berhasil meningkatkan total penjualan sebanyak 7 persen.
Kata “Saya“ meningkatkan persepsi bahwa interaksi yang terjadi antara pembicara/penulis dan pendengar/pembaca tulus dan memiliki empati daripada kata “Kami”.
Jika pejabat atau wakil rakyat adalah perusahaan, maka rakyat adalah pelanggan mereka. Namun, apakah kita selalu puas, bahkan peduli terhadap permintaan para pejabat atau wakil rakyat?
Secara etis, penting bagi para konstituen, terutama yang taat bayar pajak, untuk peduli terhadap problematika komunikasi publik para pejabat dan wakil rakyat.
Dalam aspek substansi kasus, Peraturan DPR No. 1/2015 tentang Kode Etik DPR RI, bagian kedelapan tentang “Hubungan dengan Konstituen atau Masyarakat”, pasal 9, poin satu dan dua menyatakan:
(1) Anggota harus memahami dan menjaga kemajemukan yang terdapat dalam masyarakat, baik berdasarkan suku, agama, ras, jenis kelamin, golongan, kondisi fisik, umur, status sosial, status ekonomi, maupun pilihan politik.
(2) Anggota dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya, tidak diperkenankan berprasangka buruk atau bias terhadap seseorang atau suatu kelompok atas dasar alasan yang tidak relevan, baik dengan perkataan maupun tindakannya.
Sebagai "pelanggan", masyarakat tentu mengharapkan produk dan layanan pejabat dan wakil rakyat bisa memudahkan hidup, lebih jauh lagi, memecahkan masalah hidup yang kita hadapi.