Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Muhammad Sufyan Abd
Dosen

Dosen Digital Public Relations Telkom University, Lulusan Doktoral Agama dan Media UIN SGD Bandung. Aktivis sosial di IPHI Jabar, Pemuda ICMI Jabar, MUI Kota Bandung, Yayasan Roda Amal & Komunitas Kibar'99 Smansa Cianjur. Penulis dan editor lebih dari 10 buku, terutama profil & knowledge management dari instansi. Selain itu, konsultan public relations spesialis pemerintahan dan PR Writing. Bisa dihubungi di sufyandigitalpr@gmail.com

AHY yang Galau, Ma'ruf Amin yang Menerang

Kompas.com - 16/01/2024, 06:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DALAM kampanye di Jawa Barat, Jumat (12/1/2024), Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), Ketua Umum Partai Demokrat yang juga anak Presiden ke-6 RI, tampak galau.

Maksudnya, dalam amatan penulis, sekalipun mengusung pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming yang konsisten dengan jargon melanjutkan pemerintahan Jokowi, AHY kembali ke jargon lamanya: Perubahan dan Perbaikan.

Baca juga: AHY Yakin Demokrat Bisa Perjuangkan Narasi Perubahan meski Dukung Prabowo-Gibran

Menurut AHY, agenda perubahan dan perbaikan masih dilakukan meski Demokrat saat ini berkoalisi dengan partai pemerintah Jokowi.

"Jawabannya tetap bisa dilaksanakan, karena faktanya, hampir di semua koalisi ada unsur pemerintahan, dan unsur di luar pemerintahan, artinya posisi kita sama saja," ucapnya seperti ditulis Kompas.com.

Sebagai politisi, berkilah seperti ini dalam komunikasi publik, wajib dilakukan. Namun, wajar pula jika muncul pertanyaan dari sisi public relations: Bagaimana memadukan jargon melanjutkan dan mengubah sekaligus?

Kehumasan selalu menuntut pesan komunikasi yang ajeg, kukuh, dan sinambung. Dari awal sampai akhir. Dari TV sampai medsos. Dari radio sampai online. Dari ruang kampanye sampai ruang publik. Semuanya senapas seirama.

Jika dua warna ingin disatukan, di tengah karakter masyarakat Indonesia yang memori kolegialnya pendek-pendek, yang mudah lupa cepat terbakar, maka harus mengorbankan salah satu pesan. Pilihlah yang terkuat.

Kemudian, bagaimana bisa menyebut di semua koalisi ada parpol pemerintahan, padahal identitas mereka sudah jelas kuat dari awal?

Misalnya paslon nomor satu, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, memang betul ada PKB dan Nasdem di dalamnya.

Namun, masihkah ingat serangan Muhaimin ke Gibran soal konsep IKN dalam Debat Cawapres? Apalagi kalau melihat tajamnya Anies dalam Debat Capres, yang selain mengkritik Prabowo, sudah pasti umumnya menguliti kebijakan Jokowi.

Apakah Surya Paloh dan Muhaimin Iskandar tidak tahu pertanyaan yang akan ditanyakan? Pasti tahu, dan buktinya relatif tidak ada larangan untuk mengkritik sedalam itu.

Pun demikian dengan paslon nomor tiga, Ganjar Pranowo-Mahfud MD. Visi sedari awal cenderung tak tonjolkan melanjutkan, tapi selalu soal kecepatan eksekusi pemerintahan. Sat-set, tas-tes. Ini ditambah komunikasi non verbal berserial yang mengkritisi Jokowi dan Paslon nomor dua.

Masih ingat bagaimana Ganjar memberi nilai 5, masing-masing untuk kinerja bidang hukum dan pemerintahan era Jokowi? Atau Mahfud MD yang memberi plakat langkah kaki naik setahap demi setahap untuk paslon nomor dua di acara Mata Najwa?

Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri, apalagi, sudah dua pidato publiknya seolah menyematkan label Orde Baru pada pemimpin yang sedang berkuasa.

Artinya, identitas tiap paslon di luar Prabowo-Gibran, relatif teguh dan konsisten. Jadi heran dengan AHY yang seperti galau, karena identitas seolah labil, terutama ingin melakukan perubahan di kapal besar yang ingin melanjutkan kebijakan Jokowi.

Khalayak tentu tak lupa bahwa DNA Demokrat ini sejatinya adalah oposisi pada dua periode pemerintahan Jokowi. Browsing saja pernyataan para elite Demokrat, terutama di DPP, yang mayoritas tak bersahabat dengan kebijakan Jokowi.

Hanya karena "kecelakaan" politik mendekati garis finish, tergerus oleh ego tinggi AHY dan SBY, maka kapal perubahan yang digagas lama Demokrat-Nasdem, akhirnya ditinggalkan tanpa arah dan tujuan yang teguh.

Apesnya, ketika awal gabung belum ada wacana kuat terkait putusan di Mahkamah Konstitusi. Setelah resmi menjalin kerja sama, harus terima kenyataan anak presiden yang terpilih jadi Cawapres, bukan anak Presiden RI ke-6, tapi ke-7!

Implikasi hal itu tergambar di awal-awal kampanye Pilpres dan Pileg 2024 ini. Mana ada caleg Demokrat, hampir di semua lokasi, yang gagah memuat foto Prabowo-Gibran di APK (Alat Peraga Kampanye).

Dengan semua perjalanan kisah mendekati drama politik ini, maka sah-sah saja kiranya jika AHY dianggap galau dalam kampanye tersebut. Identitasnya tak tegas, samar-samar, dan kiranya cukup membingungkan terutama bagi para kader Partai Demokrat.

Ma'ruf Amin

Tangkapan layar Wapres Maruf Amin ikut pose salam Metal usai menerima potongan tumpeng pertama, HUT ke-51 PDI-P di Sekolah Partai, Lenteng Agung, Jakarta, Rabu (10/1/2024).Tangkapan layar YouTube PDI-P Tangkapan layar Wapres Maruf Amin ikut pose salam Metal usai menerima potongan tumpeng pertama, HUT ke-51 PDI-P di Sekolah Partai, Lenteng Agung, Jakarta, Rabu (10/1/2024).
Sebaliknya, di kutub lain, Wapres Ma'ruf Amin yang kinerjanya relatif adem ayem dari sisi kehumasan dalam empat tahun terakhir, kian menerangkan standing position-nya hadapi Pilpres 14 Februari 2024.

Hal ini diawali dengan masuknya sang putri, Siti Nur Azizah, ke Timses Ganjar-Mahfud per 20 Desember 2023 lalu.

Kemudian, saat peringatan PDI-P ke 51 pada 10 Januari 2024, Ma'ruf memperlihatkan komunikasi publik asosiatif.

Pertama, saat beri sambutan, selepas uluk salam, dia meneriakkan yel-yel khas PDI-P. "Merdeka, merdeka, merdeka!"

Kedua, saat penyerahan tumpeng, jemarinya membentuk salam metal. Komunikasi nonverbal yang identik dengan khas PDI-P sejak era Orde Baru, dan ditambah sekarang dengan Paslon nomor tiga dari partai Banteng tersebut.

Saat sambutannya, demikian Ma'ruf memuji PDI-P, khususnya Megawati.

"Saya yakin di bawah kepemimpinan Ibu Megawati Soekarnoputri, PDI Perjuangan akan terus mencetak kader-kader pemimpin yang transformatif, yang mampu memberikan sumbangsih pemikiran dan kerja nyata demi mewujudkan kesejahteraan rakyat dan kemajuan bangsa Indonesia," ujarnya.

Sikap asosiatif, yang sekaligus tunjukkan keberpihakan hati itu, tentu-lah dipuji Megawati. Saat beri sambutan, yang pertama diapresiasi adalah Ma'ruf Amin, yang sudah bersedia hadir.

Sikap Wapres yang kian menerang ini, kiranya hal yang wajar. Tiket jadi Wakil Presiden RI saat tahun 2019 kental pengaruh PDI-P, terutama Megawati, setelah sebelumnya hampir-hampir diraih Mahfud MD yang lebih dipilih Jokowi.

Ma'ruf Amin tidak lupa sejarah, kira-kira demikian pesan yang ingin disampaikan ke khalayak.

Saat kontentasi politik sebesar Pilpres, sikap menerang layak dilakukan seorang komunikator sehingga komunikan mudah menangkap pesannya.

Sebaliknya sikap galau, seperti AHY dengan pesannya yang ambigu, jelas meragukan para kader khususnya dan publik secara keseluruhan. Siapa yang menang dari dua lakon ini pada 14 Februari 2024?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Dititip Kerja di Kementan dengan Gaji Rp 4,3 Juta, Nayunda Nabila Cuma Masuk 2 Kali

Dititip Kerja di Kementan dengan Gaji Rp 4,3 Juta, Nayunda Nabila Cuma Masuk 2 Kali

Nasional
Jabat Tangan Puan dan Jokowi di Tengah Isu Tak Solidnya Internal PDI-P

Jabat Tangan Puan dan Jokowi di Tengah Isu Tak Solidnya Internal PDI-P

Nasional
Saat Anak Buah Biayai Keperluan Pribadi SYL, Umrah hingga Servis 'Mercy'

Saat Anak Buah Biayai Keperluan Pribadi SYL, Umrah hingga Servis "Mercy"

Nasional
26 Tahun Reformasi: Robohnya Etika Bernegara

26 Tahun Reformasi: Robohnya Etika Bernegara

Nasional
Soal Perintah 'Tak Sejalan Silakan Mundur', SYL: Bukan Soal Uang, Tapi Program

Soal Perintah "Tak Sejalan Silakan Mundur", SYL: Bukan Soal Uang, Tapi Program

Nasional
Rosan Ikut di Pertemuan Prabowo-Elon Musk, Bahas Apa?

Rosan Ikut di Pertemuan Prabowo-Elon Musk, Bahas Apa?

Nasional
[POPULER NASIONAL] MPR Bakal Temui Amien Rais | Anies Pertimbangkan Maju Pilkada Jakarta

[POPULER NASIONAL] MPR Bakal Temui Amien Rais | Anies Pertimbangkan Maju Pilkada Jakarta

Nasional
MK Putus 207 Sengketa Pileg Hari Ini hingga Besok

MK Putus 207 Sengketa Pileg Hari Ini hingga Besok

Nasional
Tanggal 24 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 24 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Anies Pertimbangkan Maju Pilkada DKI, PKS: Kita Lagi Cari yang Fokus Urus Jakarta

Anies Pertimbangkan Maju Pilkada DKI, PKS: Kita Lagi Cari yang Fokus Urus Jakarta

Nasional
Momen Menarik di WWF Ke-10 di Bali: Jokowi Sambut Puan, Prabowo Dikenalkan sebagai Presiden Terpilih

Momen Menarik di WWF Ke-10 di Bali: Jokowi Sambut Puan, Prabowo Dikenalkan sebagai Presiden Terpilih

Nasional
Perkenalkan Istilah ‘Geo-cybernetics’, Lemhannas: AI Bikin Tantangan Makin Kompleks

Perkenalkan Istilah ‘Geo-cybernetics’, Lemhannas: AI Bikin Tantangan Makin Kompleks

Nasional
Megawati Disebut Lebih Berpeluang Bertemu Prabowo, Pengamat: Jokowi Akan Jadi Masa Lalu

Megawati Disebut Lebih Berpeluang Bertemu Prabowo, Pengamat: Jokowi Akan Jadi Masa Lalu

Nasional
Laporkan Dewas ke Bareskrim, Wakil Ketua KPK Bantah Dirinya Problematik

Laporkan Dewas ke Bareskrim, Wakil Ketua KPK Bantah Dirinya Problematik

Nasional
Kolaborasi Pertamina–Mandalika Racing Series Dukung Pembalap Muda Bersaing di Kancah Internasional

Kolaborasi Pertamina–Mandalika Racing Series Dukung Pembalap Muda Bersaing di Kancah Internasional

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com