MULAI 28 November 2023 hingga 10 Februari 2024, pemilihan presiden (pilpres) memasuki masa kampanye.
Pasangan Anies Baswedan- Muhaimin Iskandar, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming, dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD memulai tahapan merebut hati dan pikiran 204,8 juta pemilik suara di dalam dan luar negeri.
Masa kampanye ini juga menandai kelima kalinya rakyat Indonesia memilih presiden dan wakil presiden pasca-Orde Baru.
Permasalahannya bagaimana caranya agar kampanye kali ini lebih bermutu daripada kampanye pilpres sebelumnya?
Roderick P. Hart (2000) dalam bukunya Campaign Talk: Why Elections Are Good for Us menekankan pentingnya apa yang disampaikan politisi ketika masa kampanye. Opini yang sayup-sayup terdengar di keriuhan kekecewaan sikap tindak para politisi.
Menurut Hart, bahkan di saat layar televisi ramai menyiarkan kampanye, banjir iklan politik, jajak pendapat di media atau abad 21 ini pendengung (buzzer) di media sosial yang mengubah kampanye bak arena para profesional pemasaran, masa kampanye penting jika tercipta dialog.
Hart meyakini bahwa kampanye memainkan peran penting dalam menjaga demokrasi, terutama karena kampanye menciptakan dialog antara kandidat, pers, dan rakyat.
Dalam setiap kampanye, rakyat yang hadir memilih kata-kata mereka dengan berbeda kepada calon pemimpinnya. Menurut Hart, ini menjadi tantangan yang membuat frustasi bagi siapa pun yang mencoba memahami isu-isu tersebut.
Namun, Hart meyakini bahwa proses ini baik karena kampanye memberi tahu masyarakat tentang isu-isu, membuat masyarakat lebih peka terhadap kekhawatiran orang lain, dan mendorong voters untuk memberikan suara atau setidaknya meningkatkan pemahaman kita terhadap dunia politik.
Dialog menjadi persyaratan utama jika ingin menciptakan kondisi bahwa kampanye berperan penting menjaga demokrasi.
Persoalannya setelah empat kali kampanye pemilu presiden di Indonesia cenderung didominasi situasi monolog, alih-alih dialog.
Memang ada tanya jawab antara juru kampanye sebagai komunikator dengan peserta pemilu. Namun seringkali jurkam tidak memperkenankan perbedaan pendapat.
Di acara debat presiden yang muncul bukannya perbedaan sudut pandang, tetapi justru kesamaan pandangan.
Semua kegiatan dibungkus dengan kata dialog, tetapi hakikatnya yang terjadi adalah monolog. Monolog adalah ketika komunikator menciptakan situasi mendominasi, mengeksploitasi, bahkan mendistorsi informasi lawan bicara.
Wayne Brockriede dalam tulisannya Arguers as Lovers (1972) mengklasifikasikan tiga komunikator.
Ia menganalogikan tindakan komunikator yang memaksakan argumen sebagai sebuah pemerkosaan. Lawan bicara dipandang sebagai objek untuk dimanipulasi.
Komunikator mempertahankan superioritasnya di bidang intelektual agar argumennya berhasil atau di bidang interpersonal untuk merendahkan orang lain.
Jenis komunikator kedua adalah komunikator perayu. Jika komunikator pemerkosa bertindak secara coercive, maka komunikator perayu bersikap secara persuasif.
Teknik komunikasi yang dipakai di antaranya mengabaikan pertanyaan, membenarkan kesimpulan, menarik isu yang tidak relevan, dan melahirkan prasangka. Semuanya untuk memastikan persetujuan melalui wacana rayuan.
Penyalahgunaan bukti juga mengandung sikap dan niat rayuan. Praktik-praktik seperti menyembunyikan informasi, mengutip di luar konteks, mengutip otoritas atau saksi secara keliru, merusak suatu situasi faktual, menarik kesimpulan yang tidak dapat dijamin dari bukti serta mencari persetujuan melalui penggunaan argumen yang menarik. Hal ini sering muncul di iklan politik walau tidak semua iklan.
Komunikator ketiga, menurut Wayne, disebut komunikator pecinta. Komunikator pecinta adalah komunikator yang memandang lawan bicaranya sebagai manusia.
Ia ingin menciptakan keseimbangan kekuasaan ketika berkomunikasi. Hubungan antara komunikator dengan komunikan adalah bilateral.
Ia peduli dengan argumen rekannya untuk menghindari fanatisme yang mungkin mendorongnya untuk melakukan pemerkosaan atau rayuan. Ia juga rela untuk dikritik oleh lawan bicaranya.
Jika komunikator pemerkosa dan komunikator perayu adalah pelaku monolog, maka komunikator pecinta adalah pelaku dialog.
Dapat disimpulkan pula bahwa yang menentukan suatu percakapan (baca: kampanye) termasuk monolog bukanlah bentuknya. Melainkan karakter dan perilaku komunikatornya.
Agar kampanye pilpres 2024 makin bermutu, maka karakter dan perilaku para juru kampanye diharapkan termasuk kategori komunikator pecinta.
Jika hal itu terjadi, dalam bahasa Martin Buber, maka itulah situasi ketika Ich-Es diganti oleh Ich-Du; ketika liyan (yang lain) tidak lagi dipandang sebagai objek yang dapat dimanipulasi.
Melainkan dianugrahi kebebasan dan tanggungjawab yang mengubah individu semula benda menjadi persona (sebagai bukan benda).
Karena hanya pecinta yang mempertaruhkan diri, hanya pecinta yang dapat tumbuh, dan hanya pecinta yang sama-sama dapat mencapai interaksi yang sungguh-sungguh.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.