Masalahnya, Anwar Usman adalah paman Gibran, yaitu suami dari adik Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Belum lagi, salah satu pemohon uji materi soal batas minimal usia calon presiden dan wakil presiden ini adalah Partai Solidaritas Indonesia (PSI), yang saat ini dinahkodai Kaesang Pangarep, adik Gibran.
RPH untuk tiga perkara pertama yang amarnya menolak permohonan, tidak diikuti Anwar Usman. Adapun dua perkara berikutnya diikuti Anwar Usman.
Bahkan bila dugaan perubahan arah angin putusan MK terjadi karena keikutsertaan Anwar Usman bisa ditepis, posisi pencalonan Gibran masih dapat dipersoalkan dari komposisi suara hakim konstitusi dalam putusan nomor 90/PUU-XXI/2023.
Sebagai catatan, ada empat dissenting opinion dalam putusan ini. Namun, lima suara yang menjadi dasar amar mengabulkan uji materi pun menjadi sorotan.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Hamid Awaluddin, berpendapat putusan ini seharusnya tetap tidak bisa menjadi dasar bagi Gibran mencalonkan diri.
Sebab, kata dia, dari lima hakim konstitusi yang sekalipun setuju menambahkan frasa pengecualian syarat usia yang membuka jalan bagi yang pernah atau masih menjadi kepala daerah untuk menjadi calon presiden dan calon wakil presiden itu pun dua di antaranya membatasi pengecualian ini untuk level gubernur saja.
"Jadi, empat menolak, dua setuju tapi hanya untuk (level) gubernur. Kalau detail ini dicermati, sebenarnya (suara yang melegalkan jalan pencalonan Gibran) hanya tiga suara," kata Hamid saat hadir dalam Obrolan Newsroom di Kompas.com, Rabu (25/10/2023) pagi.
Kontroversi putusan MK tentang syarat calon presiden dan calon wakil presiden masih berlanjut dengan rentetan pelaporan dugaan pelanggaran kode etik hakim konstitusi.
Dari belasan pelapor, hakim konstitusi Anwar Usman menjadi yang paling banyak menjadi terlapor. Dugaan konflik kepentingan mencuat.
Namun, Saldi Isra dan Arif Hidayat yang memberikan pendapat berbeda untuk putusan nomor 90/PUU-XXI/2023 pun tak luput dari laporan dugaan kode etik, justru dari dissenting opinion-nya itu pula.
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MK) mulai menggelar pemeriksaan pada Kamis (26/10/2023). Majelis ini diketuai oleh mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie.
Yang menarik, bila sampai ada hakim konstitusi dalam perkara ini dinyatakan terbukti telah melakukan pelanggaran kode etik, implikasinya bisa meluas. Tak menutup kemungkinan berdampak pada pencalonan Gibran.
Berdasarkan Pasal 17 ayat (5) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, hakim atau panitera wajib mengundurkan diri ketika punya kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara.
Bila terbukti terjadi pelanggaran atas klausul tersebut, hakim atau panitera dimaksud dapat dikenai sanksi administratif atau dipidana.
Tak hanya itu, putusan perkaranya pun dinyatakan tidak sah. Ketika putusan dinyatakan tidak sah, perkaranya akan diperiksa kembali oleh majelis hakim yang berbeda.
Putusan MK memang bersifat final dan mengikat (binding), kecuali disertakan pengecualian atau persyaratan yang disertakan dalam amar. Artinya, ketika tanpa keterangan tambahan, putusan MK otomatis berlaku.
"(Namun), secara teknis, putusan MK tetap harus diikuti peraturan pelaksanaan. Karena, sebagaimana UU, putusan MK bersifat umum. Teknis pelaksanaan di lapangan perlu diatur," ujar pengamat hukum tata negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari, Senin (23/10/2023).
Misal, lanjut Feri, harus dijabarkan secara teniks maksud dari syarat pernah atau sedang menjadi kepala daerah.