Padahal, 2 dari 8 caleg setara 25 persen saja, yang artinya belum memenuhi ambang minimum keterwakilan perempuan 30 persen sebagaimana dipersyaratkan Pasal 245 UU Pemilu.
Akibat mekanisme ini, di atas kertas, jumlah caleg perempuan akan lebih sedikit dari seharusnya.
Aturan ini pun dibatalkan Mahkamah Agung (MA) sejak 29 Agustus 2023. MA mengembalikan aturan sesuai UU Pemilu dengan mekanisme pembulatan ke atas guna menghitung 30 persen jumlah caleg perempuan.
Namun, sampai sekarang, KPU RI tidak merevisi pasal bermasalah itu. Ketua KPU RI Hasyim Asy'ari menjelaskan, mereka tak merevisi Peraturan KPU itu karena di dalam putusannya, MA membatalkan aturan tadi.
MA juga mengatur rumusan baru untuk aturan yang dinyatakan batal itu, yaitu sistem hitungan pembulatan ke bawah diganti menjadi pembulatan ke atas.
Baca juga: Perludem Heran KPU Tak Revisi Aturan Caleg Perempuan padahal Sudah Diputus MA
“Tanpa revisi, Peraturan KPU sudah berubah," ujar Hasyim kepada wartawan di kantor Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Senin (9/10/2023).
Ia menyamakannya dengan keadaan ketika suatu undang-undang diputus inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dan MK merumuskan sendiri perubahannya menjadi apa.
"Sama dengan putusan MA itu merumuskan sendiri lalu bunyinya menjadi apa,” kata dia.
Oleh karenanya, KPU hanya menyurati partai politik per 1 Oktober 2023 dengan harapan agar partai politik menambah caleg perempuannya agar sesuai Putusan MA Nomor 24/P/HUM/2023 itu.
Partai politik hanya punya waktu sekitar 2 hari untuk memperbaiki daftar calegnya, termasuk memenuhi jumlah 30 persen caleg perempuan, sebab kesempatan perubahan itu sudah ditutup pada akhir masa pencermatan Daftar Calon Tetap (DCT) 3 Oktober 2023 lalu.
Sampai sekarang, KPU RI tak bisa memastikan apakah seluruh partai politik sudah memenuhi jumlah 30 persen caleg perempuan di setiap dapil yang mereka daftarkan.
Namun, seandainya pun partai politik gagal memenuhi jumlah 30 persen caleg perempuan di setiap dapil pada Pileg 2024, hal itu diklaim tak masalah.
Hasyim berkilah, tak ada konsekuensi soal pelanggaran atas amanat memenuhi hak afirmasi politik untuk perempuan.
“Di UU tidak ada sanksinya. Kalau di UU tidak ada sanksi, KPU kan tidak bisa memberikan sanksi,” ujar dia.
Ia memastikan, partai politik yang gagal memenuhi 30 persen caleg perempuan di dapil tertentu tetap berhak mengusung seluruh calegnya untuk bertarung di dapil tersebut.