JAKARTA, KOMPAS.com - Network for Democracy and Electoral Integrity (NETGRIT) menyoroti munculnya ancaman banjir sengketa, setelah KPU RI lepas tangan soal syarat partai politik memenuhi 30 persen caleg perempuan di setiap daerah pemilihan (dapil) pada Pileg 2024.
"Kalau tidak dibenahi, sangat mungkin nanti partai yang tidak dapat kursi menyengketakan dengan alasan partai (yang mendapat kursi) seharusnya tidak boleh ikut pemilu, karena jumlah caleg perempuannya kurang dari 30 persen. 'Mestinya parpol kami yang dapat kursi'," ungkap peneliti senior NETGRIT, Hadar Nafis Gumay, pada Selasa (10/10/2023).
Berdasarkan pemantauan NETGRIT atas Daftar Calon Sementara (DCS) yang dirilis KPU RI, Agustus lalu, tak satu pun dari 18 partai politik peserta Pemilu 2024 yang memenuhi 30 persen caleg perempuan, menurut sistem pembulatan ke atas sebagimana diatur UU Pemilu dan Putusan MA.
Secara kumulatif, 18 partai politik peserta Pemilu 2024 gagal memenuhi target 30 persen caleg perempuan di 266 dapil.
Baca juga: KPU Lepas Tangan, Pileg 2024 Bakal Diikuti Kurang dari 30 Persen Caleg Perempuan?
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) jadi partai terbanyak yang tak memenuhi 30 persen caleg perempuan, total di 31 dapil.
Sementara itu, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) tak memenuhi 30 persen caleg perempuan di 3 dapil, menjadikannya di urutan terbawah soal ketidakpatuhan memenuhi kebijakan afirmasi caleg perempuan itu.
Itu baru di tingkat DPR RI, di mana masing-masing partai politik berhak mengajukan caleg di 84 dapil saia.
Di tingkat DPRD provinsi, masing-masing partai politik berhak mengajukan caleg di 301 dapil. Di tingkat DPRD kabupaten/kota, semua partai politik peserta pemilu dapat mengajukan caleg di 2.325 dapil.
"Sudah pasti berkali lipat lebih banyak lagi terjadi di daftar calon anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Ribuan!" ucap Hadar.
Baca juga: Eks Komisioner Kritik KPU yang Dinilainya Lembek ke Parpol soal Caleg Perempuan
Hadar tak kuasa membayangkan jumlah sengketa yang mungkin timbul akibat keadaan ini.
Keengganan KPU bersikap tegas membuat tahapan pencalegan, khususnya dalam hal pemenuhan 30 persen caleg perempuan, tidak berkepastian hukum.
Sengkarut ini bermula ketika KPU RI mengundangkan Pasal 8 ayat (2) Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota Legislatif (Pencalegan).
Pasal itu mengatur soal mekanisme pembulatan ke bawah untuk menghitung 30 persen jumlah caleg perempuan yang diajukan partai politik untuk Pileg 2024.
Sebagai misal, jika di suatu dapil terdapat 8 caleg, maka hitungan jumlah 30 persen keterwakilan perempuannya akan menghasilkan angka 2,4.
Karena angka di belakang desimal kurang dari 5, maka berlaku pembulatan ke bawah. Akibatnya, keterwakilan perempuan dari total 8 caleg di dapil itu cukup hanya 2 orang dan itu dianggap sudah memenuhi syarat.
Baca juga: Semua Parpol Peserta Pemilu 2024 Disebut Tak Penuhi 30 Persen Caleg Perempuan
Padahal, 2 dari 8 caleg setara 25 persen saja, yang artinya belum memenuhi ambang minimum keterwakilan perempuan 30 persen sebagaimana dipersyaratkan Pasal 245 UU Pemilu.
Akibat mekanisme ini, di atas kertas, jumlah caleg perempuan akan lebih sedikit dari seharusnya.
Aturan ini pun dibatalkan Mahkamah Agung (MA) sejak 29 Agustus 2023. MA mengembalikan aturan sesuai UU Pemilu dengan mekanisme pembulatan ke atas guna menghitung 30 persen jumlah caleg perempuan.
Namun, sampai sekarang, KPU RI tidak merevisi pasal bermasalah itu. Ketua KPU RI Hasyim Asy'ari menjelaskan, mereka tak merevisi Peraturan KPU itu karena di dalam putusannya, MA membatalkan aturan tadi.
MA juga mengatur rumusan baru untuk aturan yang dinyatakan batal itu, yaitu sistem hitungan pembulatan ke bawah diganti menjadi pembulatan ke atas.
Baca juga: Perludem Heran KPU Tak Revisi Aturan Caleg Perempuan padahal Sudah Diputus MA
“Tanpa revisi, Peraturan KPU sudah berubah," ujar Hasyim kepada wartawan di kantor Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Senin (9/10/2023).
Ia menyamakannya dengan keadaan ketika suatu undang-undang diputus inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dan MK merumuskan sendiri perubahannya menjadi apa.
"Sama dengan putusan MA itu merumuskan sendiri lalu bunyinya menjadi apa,” kata dia.
Oleh karenanya, KPU hanya menyurati partai politik per 1 Oktober 2023 dengan harapan agar partai politik menambah caleg perempuannya agar sesuai Putusan MA Nomor 24/P/HUM/2023 itu.
Partai politik hanya punya waktu sekitar 2 hari untuk memperbaiki daftar calegnya, termasuk memenuhi jumlah 30 persen caleg perempuan, sebab kesempatan perubahan itu sudah ditutup pada akhir masa pencermatan Daftar Calon Tetap (DCT) 3 Oktober 2023 lalu.
Sampai sekarang, KPU RI tak bisa memastikan apakah seluruh partai politik sudah memenuhi jumlah 30 persen caleg perempuan di setiap dapil yang mereka daftarkan.
Namun, seandainya pun partai politik gagal memenuhi jumlah 30 persen caleg perempuan di setiap dapil pada Pileg 2024, hal itu diklaim tak masalah.
Hasyim berkilah, tak ada konsekuensi soal pelanggaran atas amanat memenuhi hak afirmasi politik untuk perempuan.
“Di UU tidak ada sanksinya. Kalau di UU tidak ada sanksi, KPU kan tidak bisa memberikan sanksi,” ujar dia.
Ia memastikan, partai politik yang gagal memenuhi 30 persen caleg perempuan di dapil tertentu tetap berhak mengusung seluruh calegnya untuk bertarung di dapil tersebut.
“Tetap MS (memenuhi syarat) karena tidak ada ketentuan yang harus membatalkan itu menurut UU Pemilu. Kalau sampai memberikan sanksi, apalagi pembatalan, harus UU yang mengatur itu,” sambungnya.
Keadaan ini membuat tahapan pencalegan berpotensi tak berkepastian hukum.
Pasalnya, Pasal 40 ayat (3) Peraturan KPU yang sama menyatakan, partai politik yang kekurangan caleg perempuan di suatu dapil, harus mencoret dapil tersebut dari daftar dapil tempat mereka berlaga pada Pileg 2024.
Namun, secara kontekstual, pasal itu mengatur soal tahapan ketika partai politik mengajukan daftar bakal caleg pada Mei 2023 lalu, bukan pada tahapan final seperti DCT sekarang.
Oleh karenanya, Hadar menegaskan, revisi Peraturan KPU itu sangat diperlukan.
"Kalau KPU mau mengatur atau memaksudkan yang lain lagi, ya harus tertib. Dan pastikan itu dalam peraturan," kata Hadar yang juga anggota Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Keterwakilan Perempuan itu.
"Caranya bisa beragam, dengan mengubah Peraturan KPU atau tidak. Namun guna memastikan semua lancar dan tidak menimbulkan masalah baru, Peraturan KPU perlu diubah," jelasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.