JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI mengungkap alasan tak merevisi Pasal 8 ayat (2) Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 yang mengatur soal penghitungan keterwakilan 30 persen caleg perempuan, walau aturan itu sudah dinyatakan Mahkamah Agung (MA) melanggar UU Pemilu.
Ketua KPU RI Hasyim Asy'ari menjelaskan, mereka tak merevisi Peraturan KPU itu karena di dalam putusannya, MA membatalkan aturan itu.
MA juga mengatur rumusan baru untuk aturan yang dinyatakan batal itu, yaitu sistem hitungan pembulatan ke bawah diganti menjadi pembulatan ke atas.
“Tanpa revisi, Peraturan KPU sudah berubah," ujar Hasyim kepada wartawan di kantor Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Senin (9/10/2023).
Baca juga: KPU: Tak Ada Konsekuensi Parpol yang Tak Usung 30 Persen Caleg Perempuan
Ia menyamakannya dengan keadaan ketika suatu undang-undang diputus inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dan MK merumuskan sendiri perubahannya menjadi apa.
"Sama dengan putusan MA itu merumuskan sendiri lalu bunyinya menjadi apa,” kata dia.
Desakan untuk merevisi aturan tersebut sudah dilancarkan berbagai pihak sejak putusan MA terbit pada Agustus lalu, salah satunya dari Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Keterwakilan Perempuan, namun KPU bergeming.
Salah satu perwakilan koalisi, Hadar Nafis Gumay, menyinggung bahwa UU Pemilu maupun Peraturan KPU memberi ruang perbaikan daftar caleg yang tidak memenuhi 30 persen hanya pada masa awal pendaftaran.
Baca juga: Semua Parpol Peserta Pemilu 2024 Disebut Tak Penuhi 30 Persen Caleg Perempuan
Sementara itu, saat ini, tahapan pencalegan sudah hampir selesai dengan akan diumumkannya Daftar Calon Tetap (DCT) pada 3 November 2023.
Revisi Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 dianggap tetap perlu guna mengatur konsekuensi untuk partai politik yang gagal memenuhi 30 persen caleg perempuan berdasarkan putusan MA.
"Jadi, bukan ruang perbaikan setelah ditetapkan jadi DCS (Daftar Calon Sementara) atau DCT. Kalau KPU mau mengatur atau memaksudkan yang lain lagi, ya harus tertib. Dan pastikan itu dalam peraturan," kata Hadar yang juga mantan komisioner KPU RI itu kepada Kompas.com, Senin.
Sementara itu, Hasyim mengeklaim bahwa tidak ada konsekuensi untuk partai politik yang gagal memenuhi 30 persen caleg perempuan di setiap daerah pemilihan (dapil).
“Di UU tidak ada sanksinya. Kalau di UU tidak ada sanksi, KPU kan tidak bisa memberikan sanksi,” ujar Ketua KPU RI Hasyim Asy'ari kepada wartawan di kantor Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Senin (9/10/2023).
Baca juga: KPU Andalkan Niat Baik Parpol Penuhi 30 Persen Caleg Perempuan
Ia memastikan, partai politik yang gagal memenuhi 30 persen caleg perempuan di dapil tertentu tetap berhak mengusung seluruh calegnya untuk bertarung di dapil tersebut.
“Tetap MS (memenuhi syarat) karena tidak ada ketentuan yang harus membatalkan itu menurut UU Pemilu. Kalau sampai memberikan sanksi, apalagi pembatalan, harus UU yang mengatur itu,” sambungnya.
Sebelumnya diberitakan, MA mengabulkan gugatan perkara nomor 24/P/HUM/2023 pada Selasa (29/8/2023) untuk membatalkan Pasal 8 ayat (2) Peraturan KPU (PKPU) Nomor 10 Tahun 2023 tentang pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
Dalam pasal itu, KPU mengatur pembulatan ke bawah jika perhitungan 30 persen keterwakilan perempuan menghasilkan angka desimal kurang dari koma lima.
Sebagai misal, jika di suatu dapil terdapat 8 caleg, maka hitungan jumlah 30 persen keterwakilan perempuannya akan menghasilkan angka 2,4.
Karena angka di belakang desimal kurang dari 5, maka berlaku pembulatan ke bawah. Akibatnya, keterwakilan perempuan dari total 8 caleg di dapil itu cukup hanya 2 orang dan itu dianggap sudah memenuhi syarat.
Padahal, 2 dari 8 caleg setara 25 persen saja, yang artinya belum memenuhi ambang minimum keterwakilan perempuan 30 persen sebagaimana dipersyaratkan Pasal 245 UU Pemilu.
MA mengatur, sistem hitungan keterwakilan 30 persen caleg perempuan kembali menggunakan pembulatan ke atas.
Akibatnya, tak sedikit parpol yang akhirnya tak memenuhi keterwakilan 30 persen caleg perempuan dengan basis pembulatan ke atas, karena kadung mengajukan daftar bakal caleg perempuan dengan basis pembulatan ke bawah.
Baca juga: MA Sebut Hitungan Keterwakilan Caleg Perempuan oleh KPU Langgar UU Pemilu
Berdasarkan pemantauan Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) atas Daftar Calon Sementara (DCS) yang dirilis KPU RI, tak satu pun dari 18 partai politik peserta Pemilu 2024 yang memenuhi 30 persen caleg perempuan menurut sistem pembulatan ke atas.
Padahal, menurut Pasal 245 UU Pemilu, setiap partai politik harus memenuhi hal itu di setiap daerah pemilihan (dapil).
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) jadi partai terbanyak yang tak memenuhi 30 persen caleg perempuan, total di 31 dapil.
Sementara itu, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) tak memenuhi 30 persen caleg perempuan di 2 dapil, menjadikannya di urutan terbawah soal ketidakpatuhan memenuhi kebijakan afirmasi caleg perempuan itu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.