SETIAP 24 September dirayakan sebagai Hari Tani Nasional. Pada tahun ini bertepatan dengan masa menjelang Pemilu 2024. Momen strategis bagi kaum tani untuk menatap masa depan.
Pikiran saya tertuju pada seorang petani tetangga saya di kampung halaman. Sebut saja Pak Marhaen.
Sengaja saya menyebutnya Pak Marhaen pada kolom ini, karena imajinasi saya terhadap Pak Marhaen yang pernah ditemukan Bung Karno.
Kulitnya legam akibat sengatan matahari. Tangan dan kakinya tampak kasar. Raut mukanya berkerut tajam. Kelihatan jauh lebih tua dari usianya. Siapapun yang melihat Pak Marhaen akan segera berkesimpulan: miskin.
Pak Marhaen adalah sosok petani temuan Bung Karno pada zaman Kolonial (1927). Pak Marhaen hidup miskin. Padahal, ia menggarap tanahnya sendiri.
Pak Marhaen juga memiliki cangkul sendiri. Ia juga memiliki alat produksi yang lain. Tapi, tetap saja miskin. Hidup sengsara.
Kemiskinan Pak Marhaen berbeda dengan kaum buruh temuan Marx. Buruh temuan Marx juga miskin. Tapi, menurut Marx, karena buruh tak menguasai alat-alat produksi. Buruh juga tak menikmati nilai lebih dari hasil kerjanya.
Pak Marhaen temuan Bung Karno mewakili sosok rakyat Hindia-Belanda pada umumnya. Miskin dan sengsara. Dimiskinkan dan disengsarakan oleh sistem kolonialisme/imperialisme.
Kata Bung Karno, karena kemiskinan dan kesengsaraan yang tak tertahankan, banyak di antara kaum Marhaen minta dibui saja. Di bui masih bisa makan dengan kenyang, sedangkan di luar belum tentu sekali sehari bisa makan.
Pak Marhaen tetangga saya di kampung halaman juga petani yang punya lahan. Tapi, tak sampai 0,5 ha. Juga punya cangkul. Ia bercocok tanam bahan pangan.
Hasilnya, kata Pak Marhaen, tak pernah cukup untuk mengangkat nasibnya. Tak jarang merugi.
Pak Marhaen sering mengeluh. Katanya, ongkos produksi makin mahal. Lahannya butuh perlakuan yang makin mahal.
Sawahnya makin manja. Kebutuhan pupuk makin banyak. Kebutuhan air makin banyak. Harus diobat juga. Tanpa diobat, tanaman mudah diserang hama.
Saya membuka-buka artikel sosiologi pedesaan. Barangkali ada hubungan dengan kebijakan “revolusi hijau” pada zaman Orde Baru sejak dekade 1970-an. Sudah lahannya sempit, tapi makin manja.
Maka, kata Pak Marhaen, “Wong tani tambah mlarat, uripe sara” (kaum tani tambah miskin, hidupnya sengsara).
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.