Sedangkan Prabowo Subianto dalam janjinya mengatakan akan mewujudkan Indonesia emas, melalui realisasi program, di antaranya meningkatkan PDB Indonesia sehingga menjadi lima besar dunia, Indonesia bisa mencapai swasembada pangan dan sekaligus lumbung pangan dunia, akan memberantas kemiskinan secara berani, akan memberantas korupsi, hilirisasi dan industrialisasi yang sedang berjalan akan dilanjutkan, serta menjadikan Indonesia sebagai negara berpendapatan tinggi.
Dari paparan ide dan gagasan yang ada sejauh ini, publik dan media diharapkan mulai melakukan pengujian secara lebih lanjut.
Kata per kata, kalimat-per kalimat yang kemudian terangkai menjadi gagasan para bacapres, idealnya dieksaminasi pada tataran substantif. Namun, realitas berbeda kita temukan terkait dengan bagaimana netizen merespons.
Pascaacara Mata Najwa tersebut, respons-respons yang terungkap dari berbagai platform media sosial lebih banyak mengarah pada gesture politik bacapres, ketimbang mendalami program kerjanya.
Ramai bermunculan akun-akun anonim, entah itu di platform X (twitter), TikTok, Instagram, Facebook, dan lainnya, perihal raut wajah, ekspresi, bahasa yang digunakan, serta kata atau kalimat yang sengaja dipotong guna menghilangkan kontesknya.
Prabowo Subianto dikatakan sudah tua dan nampak tidak menguasai panggung.
Ganjar Pranowo muncul dalam potongan-potongan video yang diberikan frame narasi bahwa mantan gubernur tersebut hanya diam dan tidak mampu menjawab pertanyaan panelis.
Anies Baswedan ditampilkan dalam penilaian sebagai sosok banyak omong.
Netizen yang notabene adalah para buzzer, pendukung, atau hanya sekadar simpatisan, mereproduksi berbagai konten yang alih-alih merasionalisasi pikiran-pikiran bacapres yang terungkap, kenyataannya mereka malah membiaskan, mengaburkan, bahkan menegasikan gagasan-gagasan barnas dari ketiganya tersebut.
Perilaku netizen dalam merespons penampilan para bacapres di hadapan publik, bahkan dikeluhkan oleh Ganjar Pranowo pada saat acara Mata Najwa itu berlangsung.
Politisi PDI Perjuangan tersebut mengatakan bahwa gagasan-gagasan yang dia utarakan saat menghadiri undangan di kampus Universitas Indonesia (UI) telah dipotong dan dihilangkan konteksnya oleh netizen.
Perilaku sebagian netizen, sebagaimana yang saya ungkap di atas, sesungguhnya kontra-produktif terhadap arah demokrasi yang ingin kita tuju.
Sebagai warga bangsa, kita tentu bersepakat demokrasi kita harus naik kelas. Penampilan para bacapres harus kita letakkan dalam konteks bagaimana komitmen mereka untuk meningkatkan kualitas demokrasi kita.
Untuk itu, sudah menjadi tugas kita bersama mengawalnya. Diskursus di “darat dan udara” harus kita biasakan dalam atmosfer pertempuran narasi, kompetisi gagasan, serta saling menantang kemampuan dalam mengeksekusi.
Baik para pendukung, simpatisan, atau publik harus berada dalam satu kesatuan pikir dan juga tindak, entah itu di dunia offline maupun dunia online, untuk mengeksplorasi pikiran dan gagasan mereka yang sudah terungkap.
Media massa juga harus tetap membangun agenda pemberitaan dalam napas yang seirama dengan publik – dalam konteks ini, mengeksplorasi gagasan para bacapres.
Dengan begitu, kontestasi menuju 2024 bisa menjadi titik masuk kita menuju Indonesia Emas. Langkah awalnya adalah melahirkan pemimpin berkualitas karena telah melalui uji publik.
Jika para calon pemimpinnya sudah mulai melakukan itu, maka tidak ada alasan lagi bagi kita sebagai publik (termasuk di dalamnya netizen) untuk mengawal hal baik itu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.