KITA patut prihatin dan mengecam. Di saat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan berbagai kalangan masyarakat menyerukan “lawan politik uang”, seorang tokoh politik, pemimpin partai politik (parpol), dikabarkan bagi-bagi uang “gocapan” atau Rp 50.000 kepada masyarakat.
Saya kutip secara langsung laporan Kompas.com, Selasa (12/0/2023).
“Dalam video yang diunggah akun Tiktok amaanat_nasional, terekam aksi Zulkifli Hasan alias Zulhas membagikan uang ke nelayan. Video itu diedit dengan latar belakang musik lagu “Pan Pan Pan Semakin di depan”. Namun, pada konten video itu tertulis “Pan Pan Pan bagi bagi gocapan” (Kompas.com, 12/09/2023).
Masih tentang politik uang, di bagian lain Kompas.com (12/09/2023) menayangkan pernyataan bakal calon presiden (bacapres) Prabowo Subianto di acara Milad ke-11 Pondok Pesantren (Ponpes) Ora Aji asuhan Gus Miftah di Kalasan, Sleman.
Prabowo menyarankan masyarakat menerima uang serangan fajar atau politik uang pada masa pemilu.
"Yang mau bagi-bagi uang, terima saja, itu juga uang dari rakyat. Kalau dibagi terima saja, tapi ikuti hatimu. Pilih yang kau yakin di hatimu akan berbuat terbaik untuk bangsa rakyat, dan negara," kata Prabowo yang dikutip Kompas.com dari YouTube Gus Miftah Official (Kompas.com, 12/09/2023).
Prabowo terkesan meremehkan soal politik uang. Bagaimana bisa rakyat yang sudah menerima sejumlah uang akan berpikir jernih dan memilih sesuai hati nuraninya? Rakyat tak selicin politikus yang susah dipegang janjinya.
Dari perspektif antropologi diketahui bahwa tak ada pemberian cuma-cuma. Setiap pemberian senantiasa menuntut imbalan. Namanya “pemberian timbal balik”.
Politik, terutama pemilihan umum (pemilu), dapat pula dipahami sebagai “pemberian timbal balik”. Ada yang dipertukarkan.
Seseorang berpartisipasi dalam pemilu bukan tanpa harapan. Bukan tanpa tendensi. Ada kepentingan yang menyertainya. Pemilu berhubungan dengan kekuasaan yang kelak mengatur distribusi kepentingan-kepentingan.
Namun, di dalam politik uang, kepentingan rakyat (pemilik suara) direduksi. Kepentingan mereka sekadar dikonversi dengan sejumlah uang, senilai ratusan ribu, bahkan puluhan ribu saja. Dukungan suara ditukar dengan uang atau barang senilai uang tersebut.
Pemilu lalu mirip pasar tradisional. Orang datang, bertemu, berkerumun untuk sekadar jual-beli dukungan. Begitu masing-masing telah melaksanakan kewajiban, pada saat itu pula hubungan keduanya putus. Begitulah hukum jual-beli.
Tak ada kewajiban tambahan bagi mereka yang sudah membeli dukungan. Bila mereka nanti terpilih menjadi pemimpin politik, tak ada kewajiban apapun kepada rakyat.
Kewajiban mereka sudah gugur dan terpenuhi melalui transaksi tadi. Rakyat sebagai pemilik suara mendapatkan paket sembako atau uang. Calon memperoleh dukungan suara.
Maka, jangan kecewa, bila pemimpin politik tak lagi mengurus rakyat. Kewajiban mereka sudah terbayar lunas melalui sejumlah uang atau barang senilai uang itu. Rakyat tak berhak bertanya mengapa mereka tak berbuat untuk kepentingan rakyat.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.