SEMUA orang mengimpikan happy-ending. Bagi pemimpin politik, happy-ending itu adalah legacy yang menuai pujian dari generasi ke generasi.
Menjelang pengujung kekuasaannya, Presiden Joko Widodo berpotensi mewarisi legacy sebagai Presiden dengan tingkat kepuasan (approval rating) tertinggi sepanjang sejarah.
Survei terbaru Litbang Kompas menunjukkan, tingkat kepuasan publik terhadap pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin mencapai 74,3 persen. Sementara survei lain, seperti LSI dan SMRC, menyebut tingkat kepuasan pemerintahan Jokowi di atas 80 persen.
Kalau memakai angka LSI dan SMRC, maka approval rating pemerintahan Jokowi-Ma’ruf merupakan yang tertinggi di dunia.
Merujuk pada data yang dikumpulkan oleh Morning Consult Political Intelligence pada 23-29 Agustus 2023, approval rating Jokowi mengungguli rekor yang dipegang Perdana Menteri India Narendra Modi sebesar 76 persen.
Approval rating pemerintahan Jokowi berjarak sangat jauh dari Lula da Silva (50 persen), Joe Biden (40 persen), Justin Trudeau (40 persen), Emmanuel Macron (26 persen), Olaf Scholz (25 persen), dan Mark Rutte (25 persen).
Di negeri kita, hasil survei kerap kali memantik pro dan kontra. Apalagi jika penilaian terhadap hasil survei berbasiskan fanatisme politik dan residu polarisasi Pilpres 2019.
Tak bisa dipungkiri, selama dua periode memerintah, Jokowi membawa banyak sekali kemajuan. Namun, tak bisa dipungkiri pula, ada persoalan kebangsaan yang belum terselesaikan, seperti ketimpangan ekonomi, ancaman krisis ekologi, kualitas SDM yang rendah, dan korupsi.
Di sinilah letak masalahnya, hasil survei tampak compang-camping jika disandingkan dengan realitas kebangsaan.
Tingkat kepuasan terhadap pemerintahan Jokowi, yang melambung sangat tinggi, bukan tanpa penjelasan.
Dari penjelasan lembaga survei, terutama LSI, SMRC, dan Indikator Politik, musababnya ada dua yang pokok: pertama, keberhasilan Jokowi mengendalikan inflasi; dan kedua, pemulihan ekonomi yang cepat pascapandemi covid-19.
Selama pemerintahannya, Jokowi memang sangat sukses mengendalikan inflasi. Inflasi tahunan Indonesia turun dari 8,36 persen pada 2014 menjadi hanya rata 3 persen sepanjang 2015-2021. Bahkan pernah di angka 1,68 persen pada 2020 dan terendah dalam sejarah Indonesia.
Beliau juga berhasil membawa Indonesia keluar lebih cepat dari krisis yang dipicu oleh pandemi covid-19. Selama pandemi, ekonomi Indonesia tidak pernah tumbuh negatif: 2020 (2,07 persen) dan 2021 (3,69 persen). Dan rebound pada 2022 (5,31 persen).
Penjelasan ini sangat masuk akal. Ada banyak kajian dan riset yang menunjukkan kelindan antara situasi ekonomi dan approval rating pemerintahan (Henry c. Kenski, 1977; Kristen R. Monroe, 1978, George Edwards, 1985).
Temuan Ipsos, misalnya, menunjukkan betapa inflasi berkorelasi langsung pada approval rating Joe Biden. Semakin tinggi inflasi, maka approval rating Joe Biden justru menurun (Riset Ipsos, 2022).