Merasa hak eksploitasi batu bara di Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur dilanggar, Planet Mining Pty Ltd yang didirikan berdasarkan hukum Australia serta merupakan anak perusahaan dari Churchill Mining Plc yang didirikan berdasarkan hukum Inggris dan Wales (Churchill) menggugat Pemerintah Indonesia di International Center for Settlement of Investment Dispute atau ICSID, 22 Juni 2012.
Pelanggaran yang dimaksud adalah melakukan ekspropriasi tidak langsung dan prinsi- prinsip perlakuan yang adil dan seimbang melalui pencabutan Kuasa Pertambangan/Izin Usaha Pertambangan Eksploitasi (KP/IUP Eksploitasi) anak perusahaan Para Penggugat (empat perusahaan Grup Ridlatama) seluas kurang lebih 350 kilometer per segi di Kecamatan Busang oleh Bupati Kutai Timur pada 4 Mei 2010.
Para Penggugat mengklaim pelanggaran itu telah menimbulkan kerugian terhadap investasi perusahaan di Indonesia.
Mendengar tuntutan gugatan terhadap Pemerintah Indonesia sebesar 1,3 miliar dollar AS atau setara Rp 18 triliun ketika itu, rapat terbatas kabinet segera digelar Presiden SBY.
Selain berpotensi mengganggu reputasi investasi di Tanah Air, SBY tidak ingin sepeser pun uang negara “melayang” karena gugatan investor asing tersebut.
Karena tidak ingin kalah, SBY menunjuk Amir Syamsuddin yang ketika itu menjabat Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk menangani perkara tersebut.
Bahkan SBY menerbitkan surat kuasa khusus dari Presiden RI kepada Amir Syamsuddin bersama Jaksa Agung, Menteri Dalam Negeri serta Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal untuk mewakili Presiden RI berpekara.
Pada 24 Februari 2014, Majelis Arbitrase pada ICSID yang terdiri dari Gabrielle Kaufmann-Kohler (berkebangsaan Swiss), Albert Jan van Den Berg (berkebangsaan Belanda), dan Michael Hwang (berkebangsaan Singapura), telah membuat putusan.
Dalam putusan tersebut dinyatakan bahwa Majelis Arbitrase memiliki kewenangan atau jurisdiction atas sengketa yang diajukan.
Menurut Pakar Hukum Internasional dari Universitas Indonesia, Prof Dr. Hikmahanta Juwana, putusan ICSID yang dibuat belum menyentuh pokok perkara.
Oleh karenanya, pemerintah tidak dapat dikatakan “kalah”. Putusan masih terkait dengan kewenangan Majelis Arbitrase untuk memeriksa perkara.
Untuk dipahami, dalam proses beperkara di lembaga peradilan, termasuk di ICSID, pada intinya ada tiga tahapan yang harus dilalui.
Pertama menentukan apakah lembaga peradilan memiliki kewenangan untuk memeriksa suatu perkara yang diajukan. Istilah hukum yang dikenal diIndonesia ialah eksepsi.
Majelis yang memeriksa perkara akan menentukan apakah dirinya berwenang atau tidak melalui sebuah putusan.
Dalam perkara Churchill, putusan Majelis Arbitrase ada pada tahap ini. Di tahap ini pemerintah memiliki upaya hukum berupa pembatalan atau annulment atas putusan terkait dengan kewenangan Majelis Arbitrase.