“Yang masuk SPP-IRT adalah pangan olahan,” kata dia.
Baca juga: Skema Kemitraan dalam UU Cipta Kerja Pastikan Pembangunan Ekonomi Bangsa Sesuai Falsafah Pancasila
Yunida mengatakan, jenis PIRT mengacu kepada lampiran Peraturan BPOM Nomor 22 Tahun 2018 Tentang Pedoman Pemberian SP-PIRT.
“Misal, minuman serbuk, abon ikan kering, minyak kelapa, dodol, gula jawa, dan lainnya,” ujarnya.
Aturan lain dalam untuk pemberian SPP-IRT, yakni Undang-undang (UU) Nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan, Peraturan Pemerintah (PP) 86 tahun 2019 tentang Keamanan Pangan, serta UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Ada pula PP Nomor 5 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko serta Peraturan BPOM Nomor 10 tahun 2021 tentang Standar Kegiatan Usaha dan Produk pada Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Sektor Obat dan Makanan.
Yunida menuturkan, pangan yang dapat didaftarkan untuk mendapatkan SPP-IRT memiliki ketentuan.
Ketentuan itu, di antaranya sesuai dengan kelompok jenis pangan dalam Peraturan BPOM Nomor 22 Tahun 2018, yakni produk pangan olahan kering, masa simpan lebih dari tujuh hari di suhu ruang, pangan terkemas dan berlabel, merupakan pangan produksi dalam negeri (bukan pangan impor), serta tidak boleh mencantumkan klaim.
Baca juga: Tolak UU Cipta Kerja, Buruh Ancam Kepung Mahkamah Konstitusi
Sementara itu, pangan yang tidak diizinkan memperoleh SPP-IRT adalah pangan olahan tertentu yang diperuntukkan bagi konsumen kelompok tertentu yang rentan terhadap penyakit.
Berikutnya adalah pangan steril komersial yang merupakan produk asal hewan yang dikalengkan, seperti gudeg, jamur, dan kikil.
Kemudian, pangan diproses dengan pasteurisasi yaitu makanan yang membutuhkan penyimpanan di ruang pendingin.
Selanjutnya, pangan yang diproses karena pembekuan dikarenakan penyimpanan memerlukan lemari pembeku.
Yunida mengatakan, SPP-IRT diterbitkan pemerintah kabupaten/kota.
“Untuk biaya, jangan khawatir, karena sejak 2018, biaya registrasi pangan olahan untuk produsen usaha mikro/IRTP dan kecil (UMK) mendapatkan diskon 50 persen dari tarif penerimaan negara bukan pajak (PNBP),” ujar dia.
Baca juga: Profesor UGM Sebut UU Cipta Kerja Dibutuhkan untuk Entaskan Kemiskinan
Analis Kebijakan dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama (Kemenag) A Sukandar memaparkan pesan Presiden Jokowi yang menyatakan Indonesia berpotensi sebagai pusat industri halal dunia.
Dia mengatakan, presiden menyampaikan Indonesia dapat menjadi kiblat industri fashion dunia dan dapat tercapai pada 2024.