Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Aznil Tan
Direktur Eksekutif Migrant Watch

Direktur Eksekutif Migrant Watch

Menunggu Pekerja Migran Indonesia Merdeka 100 Persen

Kompas.com - 17/08/2023, 10:27 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

NASIONALISME masih menjadi mindset sempit dalam memaknakan bernegara dan berbangsa. Masih banyak pihak yang memahami nasionalisme sebagai gerakan satu bangsa untuk menunjukkan kehebatannya kepada bangsa lain di dunia.

Penganut paham nasionalis ini tidak mau kalah dengan negara lain dan tidak mau rendah di hadapan bangsa-bangsa lain. Sehingga timbul kompetisi antarnegara menjadi bangsa paling kuat, paling berkelas, dan paling kaya.

Nasionalisme seperti ini disebut nasionalisme kolot. Paham ini mengabaikan substansi kemanusiaan dan mengedepankan ego kebangsaan yang akhirnya mengorbankan jutaan manusia untuk mendapatkan hidup berkualitas dan menjadi manusia merdeka.

Tujuan kemanusiaan mengentaskan kemiskinan, keterbelakangan dan mengembangkan jati diri menjadi hal sulit didapat atas paham tersebut, meski dunia sudah mengglobal.

Manusia semakin disadarkan atas realitas kehidupan bahwa hidup saling melengkapi antara satu dengan lainnya. Dunia saling ketergantungan antarnegara satu dengan negara lainnya. Manusia saling membutuhkan antarbangsa satu dengan bangsa lain.

Namun, mindset nasionalisme kolot masih banyak dianut oleh penguasa. Penguasa masih banyak melaksanakan peradaban global secara kaku dan terjebak dalam paham nasionalis kolot sebagaimana digembor-gemborkan era kemerdekaan Indonesia dulu.

Paham nasionalis kolot ini tak luput juga menimpa pada wilayah ketenagakerjaan migran Indonesia. Pekerja Migran Indonesia (PMI) dianggap hal yang memalukan dan merendahkan martabat Indonesia.

Alasannya, PMI hanya bekerja di sektor pekerja bawahan dan bekerja sebagai pekerja kasar di negara orang. Ini pemikiran keliru.

Pertama, bicara tentang tenaga kerja migran adalah pekerjaan kasar atau low skill dan middle skill, seperti buruh pabrik, konstruksi, perkebunan, kargo, transportasi, ABK (Anak Buah Kapal), perawat, koki, pelayan dan berbagai pekerjaan mengunakan keterampilan tenaga manusia lainnya.

Selain itu, pekerja migran dibutuhkan dunia untuk pekerjaan domestik, seperti pekerja rumah tangga, pengasuh bayi/anak, perawat orang tua, sopir pribadi, dan sebagainya.

Kedua, dunia ketenagakerjaan saling membutuhkan dan ketergantungan antara satu dengan lainnya. Ketergantungan ini mengakibatkan terjadinya hukum supply-demand antarnegara, sehingga membentuk pasar kerja global.

Beberapa negara di dunia, penduduknya mengalami peningkatan taraf hidup dan sudah berekonomi maju. Mereka membutuhkan tenaga kerja lain untuk membantu pekerjaannya.

Di sisi lain, beberapa negara mengalami kekurangan populasi penduduk untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja di dalam negerinya.

Banyak negara-negara terjadi "kiamat tenaga kerja". Untuk mengisi kekosongan tersebut dibutuhkan tenaga kerja dari negara luar.

Bagi negara-negara yang memiliki sumber daya manusia melimpah, kondisi ini bisa menjadi potensi untuk merebut peluang kerja tersebut. Terutama, negara-negara yang masih kekurangan lapangan pekerjaan di dalam negerinya dan tingkat kesejahteraan pekerja masih rendah.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Ditanya Bakal Ikut Seleksi Capim KPK, Nawawi: Dijawab Enggak Ya?

Ditanya Bakal Ikut Seleksi Capim KPK, Nawawi: Dijawab Enggak Ya?

Nasional
Soal Revisi UU MK, Pengamat: Rapat Diam-diam adalah Siasat DPR Mengecoh Publik

Soal Revisi UU MK, Pengamat: Rapat Diam-diam adalah Siasat DPR Mengecoh Publik

Nasional
Pertamina Gandeng JCCP untuk Hadapi Tantangan Transisi Energi

Pertamina Gandeng JCCP untuk Hadapi Tantangan Transisi Energi

Nasional
Imbas Kecelakaan di Subang, Muhadjir: Jangan Menyewa Bus Kecuali Betul-betul Bisa Dipercaya

Imbas Kecelakaan di Subang, Muhadjir: Jangan Menyewa Bus Kecuali Betul-betul Bisa Dipercaya

Nasional
Antisipasi Rumor, Fahira Idris Minta Penyelenggara dan Legislator Klarifikasi Penerapan KRIS secara Komprehensif

Antisipasi Rumor, Fahira Idris Minta Penyelenggara dan Legislator Klarifikasi Penerapan KRIS secara Komprehensif

Nasional
Kenaikan Beras Tak Setinggi Negara Lain, Jokowi: Patut Disyukuri Lho...

Kenaikan Beras Tak Setinggi Negara Lain, Jokowi: Patut Disyukuri Lho...

Nasional
3 Kriteria Jemaah Haji yang Bisa Dibadalhajikan: Wafat, Sakit dan Gangguan Jiwa

3 Kriteria Jemaah Haji yang Bisa Dibadalhajikan: Wafat, Sakit dan Gangguan Jiwa

Nasional
Nurul Ghufron Beri Sinyal Kembali Ikut Seleksi Capim KPK 2024-2029

Nurul Ghufron Beri Sinyal Kembali Ikut Seleksi Capim KPK 2024-2029

Nasional
Kecelakaan Bus 'Studi Tour', Muhadjir: Saya Kaget, Setelah Berakhir Mudik Malah Ada Kejadian

Kecelakaan Bus "Studi Tour", Muhadjir: Saya Kaget, Setelah Berakhir Mudik Malah Ada Kejadian

Nasional
Minta Polri Adaptif, Menko Polhukam: Kejahatan Dunia Maya Berkembang Pesat

Minta Polri Adaptif, Menko Polhukam: Kejahatan Dunia Maya Berkembang Pesat

Nasional
KSAL Berharap TKDN Kapal Selam Scorpene Lebih dari 50 Persen

KSAL Berharap TKDN Kapal Selam Scorpene Lebih dari 50 Persen

Nasional
Segera Kunjungi Lokasi Banjir Sumbar, Menko PMK: Kita Carikan Solusi Permanen Agar Tak Berulang

Segera Kunjungi Lokasi Banjir Sumbar, Menko PMK: Kita Carikan Solusi Permanen Agar Tak Berulang

Nasional
Baleg Ajukan Revisi UU Kementerian Negara sebagai RUU Kumulatif Terbuka

Baleg Ajukan Revisi UU Kementerian Negara sebagai RUU Kumulatif Terbuka

Nasional
Buka Opsi Sebar Satkalsel, KSAL: Tunggu Kapal Selamnya Banyak Dulu

Buka Opsi Sebar Satkalsel, KSAL: Tunggu Kapal Selamnya Banyak Dulu

Nasional
Khofifah: Guru Besar Usul Pembentukan Kementerian Pendidikan Tinggi, Teknologi, dan Inovasi

Khofifah: Guru Besar Usul Pembentukan Kementerian Pendidikan Tinggi, Teknologi, dan Inovasi

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com