HITUNGAN mundur kontestasi Pemilu 2024 yang kurang dari satu tahun, diharapkan tidak mengendorkan komitmen kebangsaan kita, yaitu persatuan di atas kemanusiaan.
Nilai yang tertuang dalam Pancasila tersebut merupakan warisan terbaik para pendiri bangsa sebagai modal menuju demokrasi yang berkeadaban.
Atas nama demokrasi tidak boleh menjadi jurang pemisah persatuan dan tidak pula dibenarkan untuk merendahkan nilai-nilai kemanusiaan.
Sudah menjadi keharusan bahwa Pemilu berfungsi sebagai perekat perbedaan pilihan politik di tengah masyarakat majemuk.
Karena itu, demokrasi berdasar Pancasila menjadi sistem yang paling tepat untuk menyatukan keanekaragaman tersebut.
Pemilu harus menjadi alat pemersatu, karena tanpa pemilu, sangat mungkin muncul perpecahan, polarisasi yang tajam karena perbedaan ideologi, pandangan politik, kepentingan, dan lainnya.
Dengan pemilu, perbedaan tersebut bisa menyatu dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Melihat sepintas penjelasan Abraham Diskin dkk melalui Why Democracies Collapse: The Reasons for Democratic Failure and Success (2005), telah melakukan studi pengujian demokrasi dengan melakukan penyelidikan terhadap 11 variabel yang menyebabkan runtuhnya demokrasi.
Studi tersebut menempatkan sistem kepartaian dan proporsionalitas sistem pemilu, berkorelasi erat dengan runtuhnya demokrasi pada suatu negara.
Di luar itu, ada variabel yang paling penting, yakni ekonomi yang gagal, sejarah tidak menguntungkan, ketidakstabilan pemerintah, dan keterlibatan asing.
Jika keempat variabel negatif ini muncul secara bersamaan, demokrasi hampir pasti akan runtuh. Namun jika hanya satu faktor yang melemahkan, maka sangat tidak mungkin menyebabkan keruntuhannya.
Konteks Indonesia, Pemilu 2024 nantinya sudah dipastikan akan menggunakan sistem proporsional terbuka.
Kepastian ini diperoleh setelah Mahkamah Konstitusi menolak permohonan uji materi UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur tentang sistem pemilu proporsional terbuka.
Putusan MK harus dihormati, agar variabel lain tidak turut melemahkan daya demokrasi yang sedang berjalan, seperti pandangan Abraham Diskin di atas.
Lantas, bagaimana dengan variabel lainnya? Kegaduhan ternyata masih berlanjut, akibatnya sebagian masyarakat merasa pesimistis pada praktik demokrasi ke depan.