JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Andika Perkasa mengatakan, kasus dugaan suap yang melibatkan Kepala Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Kabasarnas) Marsekal Madya Henri Alfiandi tidak bisa membatalkan proses hukum meski sempat ada "ribut-ribut" antara dua instansi.
Adapun "ribut-ribut" itu terjadi usai Kabasarnas ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Para perwira tinggi (pati) TNI lantas menggeruduk kantor KPK dan menyatakan tidak terima lembaga antirasuah itu menetapkan tersangka kepada TNI aktif.
"Kalaupun ada teknis yang kebetulan agak missed, itu soal teknis saja. Tapi bagi saya prinsip tipikor harus diproses. Bisa (dikomunikasikan) dan bisa diperbaiki, tapi tidak kemudian membatalkan proses hukum terhadap tipikor," tegas Andika dalam program Gaspol! Kompas.com, Jumat (11/8/2023 malam.
Baca juga: KPK Sebut Kabasarnas Akui Terima Suap dari Swasta Terkait Pengadaan Barang
Andika mengatakan, secara prinsip, kasus yang melibatkan anggota TNI aktif memang diproses di bawah peradilan militer. Hal ini sesuai dengan UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
UU ini pun yang diacu oleh para pati saat mendatangi kantor KPK.
"Jadi manakala Kabasarnas diduga melakukan tipikor, seharusnya memang peradilan militer mulai dari penyidiknya polisi militer, penuntut oditur militer, dan dilimpahkan ke peradilan militer," ucap Andika.
Namun, lanjut dia, KPK juga merupakan badan yang memiliki kewenangan untuk menindak segala bentuk korupsi, suap, dan gratifikasi.
"Jadi menurut saya, KPK juga punya kompetensi kasus yang dilakukan penyidikan atau penyelidikan juga memang sesuai perkembangan. Hanya masalah teknis," beber Andika.
Diberitakan sebelumnya, Danpuspom TNI beserta jajarannya sempat mendatangi Gedung KPK untuk berkoordinasi usai lembaga antirasuah itu mengumumkan Henri dan Afri sebagai tersangka kasus dugaan suap.
Usai pertemuan tersebut, Wakil Ketua KPK Johanis Tanak menyampaikan permintaan maaf kepada Panglima TNI dan menyebut soal kekhilafan jajarannya karena proses hukum perwira TNI aktif adalah kewenangan dari Puspom TNI.
Baca juga: Belum Sebulan Kabasarnas Jadi Tersangka, KPK Umumkan Kasus Korupsi Lain di Basarnas
Komandan Pusat Polisi Militer (Danpuspom) TNI Marsda Agung Handoko mengatakan, TNI mengacu pada Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
TNI memiliki wewenang menetapkan proses hukum kepada perwira aktif. Artinya kata dia, hal ini bukan ranah KPK.
"Jadi pada prinsipnya, TNI taat kepada hukum. Apapun aturannya, kita ikut. Sekarang yang kita gunakan adalah aturan yang ada," kata Agung Handoko dalam program ROSI yang disiarkan Kompas TV, Kamis (3/8/2023) malam.
Baca juga: KPK Sebut Kasus Pengadaan Truk Angkut Basarnas Beda dengan Suap Kabasarnas
Agung menilai, memang sudah ada aturan yang lebih baru dan mengatur proses hukum militer, yaitu UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Dalam Pasal 45 beleid tersebut dinyatakan bahwa “prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang”.
Artinya, prajurit yang melanggar tidak pidana umum diadili di peradilan umum. Namun, jika melanggar tindak pidana militer maka diadili di peradilan militer.
Baca juga: Puspom TNI Periksa 3 Orang yang Diduga Memberi Suap dalam Kasus Korupsi Kabasarnas
Kendati begitu, kata Agung, ada Pasal 74 dalam UU tersebut yang perlu diperhatikan. Pasal 74 berbunyi "Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 berlaku pada saat UU tentang Peradilan Militer yang baru diberlakukan".
"Sekarang belum ada UU yang baru sehingga UU Peradilan Militer Nomor 31 (tahun 1997) itulah yang digunakan," jelas Agung.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.