BERTEPATAN dengan tanggal kembar 8.8, yang identik diskon di berbagai platform e-commerce, nyatanya “diskon” tanggal kembar kali ini juga merambah dunia peradilan.
Majelis hakim tingkat kasasi di Mahkamah Agung pada kasus pembunuhan berencana Brigadir Polisi Nofriansyah Yosua Hutabarat memberikan diskon hukuman bagi para terdakwa.
Putusan final bagi mereka akhirnya lebih ringan dibandingkan putusan pada tingkat pertama di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan pada tingkat banding di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
Ferdy Sambo yang semula divonis hukuman mati diberi "diskon" menjadi penjara seumur hidup. Istri Sambo, Putri Candrawathi, dari vonis 20 tahun penjara menjadi 10 tahun penjara.
Kemudian, mantan asisten rumah tangga Sambo, Kuat Ma'ruf dari vonis 15 tahun penjara menjadi 10 tahun penjara, serta mantan ajudan Sambo, Ricky Rizal Wibowo, dari vonis 13 tahun penjara menjadi 8 tahun penjara.
Vonis mati terhadap Sambo pada putusan tingkat pertama sempat membawa angin segar dan euphoria di dunia penegakan hukum Indonesia.
Namun, saat itu banyak pengamat hukum yang melihat potensi problem eksekusi pada vonis mati tersebut.
Pertama, vonis mati bisa saja dianulir di tingkat peradilan berikutnya, baik di tingkat banding atau kasasi.
Kedua, vonis mati bisa saja tidak terlaksana apabila dalam kurun waktu tiga tahun belum berkekuatan hukum tetap dan belum dieksekusi, maka secara otomatis akan tunduk dan mengikuti ketentuan pemidanaan dalam Pasal 100 KUHP baru.
Pasal tersebut mengatur hakim dapat menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 tahun dengan catatan memperhatikan dua hal, yaitu rasa penyesalan terdakwa dan ada harapan untuk memperbaiki diri. Serta peran terdakwa dalam tindak pidana.
Namun, dalam ketentuan pasal 100 Ayat (4) disebutkan bahwa jika dalam masa percobaan itu terpidana menunjukan sikap terpuji, maka pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup dengan putusan presiden atas pertimbangan Mahkamah Agung (MA).
Nyatanya benar, prediksi pertama kini telah terbukti. Prediksi kedua juga terbukti, hanya saja tidak melalui dasar KUHP baru, namun “dipercepat” keberlakuannya dengan legitimasi dari putusan kasasi.
Lantas, apakah masih ada upaya hukum lain yang bisa ditempuh rakyat maupun keluarga korban apabila putusan kasasi yang sudah berkekuatan hukum tetap ini dirasa mencederai nilai dan rasa keadilan?
Dalam sistem peradilan pidana Indonesia mengenal upaya hukum terakhir setelah banding di tingkat pengadilan tinggi, serta kasasi di tingkat Mahkamah Agung, yaitu Peninjauan Kembali (PK).
Syarat pengajuan PK, yaitu terpidana harus memiliki Novum atau keadaan baru, yaitu bukti dan saksi yang belum pernah dihadirkan dan dimintai keterangan sebelumnya, atau memiliki bukti bahwa hakim telah salah dalam menerapkan hukum.