JAKARTA, KOMPAS.com - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksi potensi curah hujan rendah hingga sangat rendah di sebagian wilayah Indonesia pada musim kemarau kering tahun ini.
Kepala Pusat Informasi Perubahan Iklim BMKG Fachri Radjab menjabarkan, kondisi curah hujan di tiap daerah berbeda-beda. Ada wilayah yang mengalami hari tanpa hujan antara 21-60 hari, ada pula yang lebih dari itu.
Curah hujan yang rendah ini dipengaruhi oleh dua fenomena yang saling menguatkan, yaitu El Nino dan Indian Ocean Dipole (IOD) positif. Puncak musim kemarau kering ini diprediksi terjadi pada Agustus - September 2023.
"Ada beberapa wilayah yang memang kita prediksikan intensitas hujannya dalam kategori rendah," kata Fachri Radjab dalam diskusi media secara daring di Jakarta, Senin (31/7/2023).
Baca juga: Kemarau Kering, Badan Pangan Pastikan Stok Komoditas Strategis Aman hingga Akhir 2023
Fachri menjabarkan, wilayah dengan hari tanpa hujan antara 21-60 hari meliputi sebagian wilayah di Pulau Jawa, Jambi, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, dan Papua.
Kemudian, ada pula daerah dengan hari tanpa hujan lebih dari 60 hari, meliputi Jawa Timur, Yogyakarta, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur.
"Dari prakiraan hujan bulanan, baik itu di Sumatera, itu sebagian besar Sumatera, baik Riau, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Bengkulu, Lampung, kemudian Jawa merata hampir seluruh Jawa itu, kategorinya warna coklat artinya hujannya rendah," ucapnya.
"Kemudian Bali, NTB dan NTT juga sama. Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Utara, Sulawesi utamanya Sulawesi Selatan, Tengah, dan Sulawesi Tenggara," bebernya.
Lebih lanjut ia menuturkan, 63 persen wilayah dari 699 zona musim (ZOM) telah memasuki musim kemarau. Musim kemarau ini akan lebih kering dari 3 tahun belakangan, yakni dari tahun 2020-2022.
"Artinya yang sudah terdampak langsung dari El Nino itu 63 persen wilayah ZOM tadi. Kita perkirakan memang puncaknya di Agustus ini dan September," jelas Fachri.
Sebelumnya, Kepala BMKG Dwikorita Karnawati memprediksi, fenomena kemarau kering pada tahun 2023 akan mirip dengan fenomena di tahun 2018 dan tahun 2019.
Pada tahun 2018, terjadi El Nino pada level moderat ke lemah selama 4 bulan. Fenomena terjadi hampir merata di seluruh wilayah Indonesia.
Sedangkan di tahun 2019 terjadi fenomena IOD positif yang mengakibatkan kebakaran lahan dan hutan (karhutla). Sama seperti tahun 2018, fenomena IOD positif di tahun 2019 juga terjadi selama 4 bulan.
"Nah kali ini, tahun 2023 gabungan antara 2018 dan 2019 terjadi bersamaan. Kali ini keduanya (El Nino dan IOD positif) bermain bersamaan, meskipun hanya 3 bulan," jelas Dwikorita di Kemendagri, Jakarta Pusat, Senin.
Sebagai informasi, berdasarkan pengamatan yang dilakukan BMKG, indeks El Nino pada bulan Juli mencapai 1,01 dengan level moderate, sementara IOD sudah memasuki level index yang positif.
Sebelumnya, pada bulan Juni hingga dasarian 1 bulan Juli, El Nino masih dalam level lemah sehingga dampaknya belum dirasakan.
Namun setelah itu dalam waktu yang bersamaan, El Nino dan IOD positif yang sifatnya global dan skala waktu kejadiannya panjang dalam hitungan beberapa bulan terjadi dalam waktu yang bersamaan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.