LAGI dan lagi, skandal kasus korupsi terkuat di Indonesia. Dalam tiga bulan terakhir ini saja, publik dipertontonkan sejumlah tangkapan besar (big fish) yang dilakukan oleh Kejaksaan dan KPK, mulai dari pengusaha, menteri, hingga hakim agung yang juga menyeret sekretaris Mahkamah Agung.
Deretan kasus ini, jelas mencemaskan. Berdasarkan laporan hasil kinerja KPK di lingkup Direktorat Penindakan, sebanyak 149 orang telah ditetapkan sebagai tersangka dengan berbagai modus kasus korupsi sepanjang 2022.
Jumlah ini meningkat 34,23 persen dibandingkan pada tahun sebelumnya sebesar 111 tersangka.
Selain itu, menurut Indonesia Corruption Watch (ICW), potensi kerugian negara juga melejit akibat tindak pidana korupsi ini.
Menurut Transparency International Indonesia yang dirilis Januari lalu, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada 2022 berada di skor 34 dan berada di peringkat ke-110.
IPK Indonesia pada 2022 mengalami penurunan empat poin hingga berada di skor 34. Nilai ini sama dengan capaian pada 2014. Di mana penurunan tertajam terjadi pada korupsi sistem politik, konflik kepentingan antara politisi dan pelaku suap, serta suap untuk izin ekspor-impor.
Memang benar, naiknya tersangka kasus korupsi yang dicatat KPK menandakan peningkatan kinerja KPK, tapi di sisi lain, sekaligus memperlihatkan tingginya kasus korupsi dalam beberapa tahun terakhir.
Lebih ironis adalah, kian hari berita-berita penangkapan para koruptor tersebut justru makin kehilangan gaungnya di tengah masyarakat.
Isu-isu terkait korupsi mulai tampak biasa dan lumrah. Hal ini tentu menjadi kekhawatiran tersendiri bagi kita sebagai anak bangsa.
Untuk sekadar mengembalikan ingatan kita, korupsi dianggap sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime), bukan saja karena kejahatan ini memiliki dampak terhadap kerugian Negara, tapi juga berpotensi merobohkan norma sosial dan peradaban yang berdampak pada rusaknya masa depan bangsa dan negara.
Dalam praktiknya, korupsi merupakan kerja bersama sejumlah orang atau kelompok. Fenomena yang tergambar dalam sejumlah sidang pengadilan Tipikor menunjukkan bahwa tidak ada satupun koruptor yang bekerja sendiri, tapi mereka bekerja secara terorganisir dan bersifat sistemik.
Sebagaimana dikatakan oleh Lambsdorff, “Korupsi terbatas pada lingkaran dalam dengan jaringan yang tertata rapih. Korupsi hanya terbuka bagi mereka yang telah mengeksploitasi hubungan jangka panjang untuk karier kriminal.” (Lambsdorff, 2007, p. xiv)
Pada titik tertentu, korupsi bisa bukan lagi menyangkut sosok personal, melainkan sistem kejahatan tingkat tinggi.
Korupsi membutuhkan perencanaan yang matang dan rumit; skema konspirasi yang terstruktur rapih; serta jejaring yang sempurna. Dan yang terpenting, mereka ulet bekerja dalam durasi.
Berbeda dengan kejahatan lain, yang sebagian besarnya bersifat spontan, karena didorong desakan ekonomi, emosi sesaat, dan lain sebagainya.