Meski reaksi publik tidak sehiruk pikuk saat menyikapi omnibus law UU Cipta Kerja, UU Kesehatan juga mencatatkan kecepatan kilat pembahasan. Bila UU Cipta Kerja butuh waktu hampir satu tahun, UU Kesehatan rampung dibahas dalam tenggat dua bulan saja.
Baca juga: Lacak Jejak Draf RUU Cipta Kerja
UU ini baru masuk daftar program legislatif nasional pada 15 Desember 2022. Sebagai RUU inisiatif DPR, naskah RUU Kesehatan diserahkan DPR kepada pemerintah pada 10 Maret 2023.
Lalu, pemerintah baru menyerahkan daftar inventarisasi permasalahan RUU Kesehatan kepada DPR pada 5 April 2023. Pembahasan berjalan dua bulan, pada 19 Juni 2023 disepakati membawa RUU Kesehatan ke sidang paripurna untuk disahkan sebagai UU.
Pada 11 Juli 2023, RUU Kesehatan diketok palu di sidang paripurna, disahkan menjadi UU. Hanya Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera yang menolak, sementara tujuh fraksi lain menyetujui.
Sebelumnya, kesehatan harus mendapat alokasi 5 persen APBN dan 10 persen APBD. UU Kesehatan yang baru disahkan menghapus ketentuan itu.
Menurut Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin tidak ada data yang membuktikan bahwa alokasi dana (spending) besar untuk kesehatan berkorelasi dengan membaiknya derajat kesehatan masyarakat.
Dia memberikan perbandingan antara alokasi dana kesehatan di Amerika Serikat yang mencapai 12.000 dollar AS per kapita dan di Kuba yang "hanya" 2.000 dollar AS per kapita, sama-sama mendapatkan data usia harapan hidup warganya adalah 80 tahun.
Baca juga: Anggaran Wajib Kesehatan Dihapus, Menkes: Jangan Tiru Negara Lain Buang Uang Terlalu Banyak
Yang jadi soal, mandatory spending sebesar 5 persen APBN dan 10 persen APBD di luar gaji merupakan amanat Ketetapan MPR Nomor 10 Tahun 2001, tidak hanya UU Nomor 36 Tahun 2009 yang dicabut oleh UU Kesehatan ini.
Klausul mandatory spending dalam UU Nomor 36 Tahun 2009 merupakan penjabaran dari ketentuan dalam Ketetapan MPR Nomor 10 Tahun 2001 itu, yang mengamanatkan mandatory spending 15 persen untuk kesehatan.
Dalam praktiknya, selama ini belum semua daerah juga sudah memenuhi amanat mengalokasikan 10 persen APBD untuk kesehatan.
Di lapangan, masih pula ada banyak kisah pilu kasus-kasus yang mestinya bisa ditangani secara medis berakhir nyawa yang hilang karena keterbatasan akses layanan kesehatan.
Ada mandatory spending atau tidak, ada tanggung jawab negara untuk memastikan kemudahan dan keterjangkauan akses serta kualitas layanan kesehatan sebagai bagian dari kesejahteraan umum yang merupakan amanat konstitusi.
Sejumlah catatan lain mencuat dari UU Kesehatan, termasuk di antaranya mengkategorikan produk tembakau sebagai zat adiktif.
Baca juga: UU Kesehatan Terbaru Atur Produk Tembakau Termasuk Zat Adiktif
Lalu, UU Kesehatan yang baru disahkan ini memberlakukan surat tanda registrasi (STR) tenaga kesehatan domestik untuk seumur hidup.
Meski ini kabar baik dibanding kecenderungan praktik lama dari perspektif seperti administrasi dan biaya, ada tantangan kompetensi yang juga butuh solusi dan pengawasan agar tak menjadi sekadar "wajah" lain yang mempersulit tenaga kesehatan.