BAGI publik, apa pun undang-undangnya, yang penting soal kesehatan adalah akses layanan mudah, luas, murah, dan berkualitas.
Apakah Rancangan Undang-undang (RUU) Kesehatan yang diketok palu di DPR menjadi UU pada Selasa (11/7/2023) bisa menjawabnya?
Sejauh ini yang mencuat ke publik justru riuh rendah penolakan dari kalangan tenaga kesehatan (nakes) terhadap beleid yang dinyatakan sebagai omnibus law alias uu sapu jagat di bidang kesehatan ini.
Ringkasan poin-poin penolakan nakes yang selama ini menyuarakan penolakan atas regulasi baru di bidang kesehatan ini bisa dibaca di sini.
Tentu, ini juga perlu dicermati, nakes yang mana? Apakah seluruh nakes memang menolak?
Namun, apakah itu saja yang patut dicermati dari UU Kesehatan?
Berikut ini sekelumit catatan perjalanan dan kontroversi RUU Kesehatan:
Omnibus law
RUU Kesehatan yang baru diketok palu menjadi UU ini merupakan omnibus law, sama seperti halnya UU Cipta Kerja yang lintas sektoral dan UU Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU P2SK) di sektor keuangan.
Sejatinya UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) juga memenuhi kriteria omnibus law, bila dilihat ada sejumlah regulasi dari banyak UU yang diatur ulang oleh UU HPP. Namun, naskah lengkap UU HPP tak eksplisit menyebut dirinya sebagai omnibus law.
Sebagaimana ketentuan Pasal 64 UU Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3), sebuah UU disebut omnibus law bila:
Sebagai omnibus law, UU Kesehatan mencabut dan menyatakan tak berlaku 11 UU terkait kesehatan, begitu UU Kesehatan diundangkan, sebagaimana termaktub dalam Pasal 454, yaitu:
Adapun peraturan perundangan pelaksanaan dari 10 UU—kecuali UU Nomor 49 Tahun 1949 dalam daftar UU di atas—, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UU Kesehatan yang baru.
UU Kesehatan juga mengubah sebagian ketentuan dari:
Dalam aturan peralihannya, UU Kesehatan menyatakan bahwa Pasal 427, Pasal 428, Pasal 429, Pasal 431, dan Pasal 432 dalam UU ini berlaku hanya sampai dengan diberlakukannya UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Sebagai catatan, UU KUHP diundangkan pada 2 Januari 2023 dan dinyatakan baru akan berlaku tiga tahun sejak itu atau mulai 2 Januari 2026.
Dua bulan pembahasan
Meski reaksi publik tidak sehiruk pikuk saat menyikapi omnibus law UU Cipta Kerja, UU Kesehatan juga mencatatkan kecepatan kilat pembahasan. Bila UU Cipta Kerja butuh waktu hampir satu tahun, UU Kesehatan rampung dibahas dalam tenggat dua bulan saja.
UU ini baru masuk daftar program legislatif nasional pada 15 Desember 2022. Sebagai RUU inisiatif DPR, naskah RUU Kesehatan diserahkan DPR kepada pemerintah pada 10 Maret 2023.
Lalu, pemerintah baru menyerahkan daftar inventarisasi permasalahan RUU Kesehatan kepada DPR pada 5 April 2023. Pembahasan berjalan dua bulan, pada 19 Juni 2023 disepakati membawa RUU Kesehatan ke sidang paripurna untuk disahkan sebagai UU.
Pada 11 Juli 2023, RUU Kesehatan diketok palu di sidang paripurna, disahkan menjadi UU. Hanya Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera yang menolak, sementara tujuh fraksi lain menyetujui.
Menghapus batas minimal alokasi anggaran
Sebelumnya, kesehatan harus mendapat alokasi 5 persen APBN dan 10 persen APBD. UU Kesehatan yang baru disahkan menghapus ketentuan itu.
Menurut Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin tidak ada data yang membuktikan bahwa alokasi dana (spending) besar untuk kesehatan berkorelasi dengan membaiknya derajat kesehatan masyarakat.
Dia memberikan perbandingan antara alokasi dana kesehatan di Amerika Serikat yang mencapai 12.000 dollar AS per kapita dan di Kuba yang "hanya" 2.000 dollar AS per kapita, sama-sama mendapatkan data usia harapan hidup warganya adalah 80 tahun.
Yang jadi soal, mandatory spending sebesar 5 persen APBN dan 10 persen APBD di luar gaji merupakan amanat Ketetapan MPR Nomor 10 Tahun 2001, tidak hanya UU Nomor 36 Tahun 2009 yang dicabut oleh UU Kesehatan ini.
Klausul mandatory spending dalam UU Nomor 36 Tahun 2009 merupakan penjabaran dari ketentuan dalam Ketetapan MPR Nomor 10 Tahun 2001 itu, yang mengamanatkan mandatory spending 15 persen untuk kesehatan.
Dalam praktiknya, selama ini belum semua daerah juga sudah memenuhi amanat mengalokasikan 10 persen APBD untuk kesehatan.
Di lapangan, masih pula ada banyak kisah pilu kasus-kasus yang mestinya bisa ditangani secara medis berakhir nyawa yang hilang karena keterbatasan akses layanan kesehatan.
Ada mandatory spending atau tidak, ada tanggung jawab negara untuk memastikan kemudahan dan keterjangkauan akses serta kualitas layanan kesehatan sebagai bagian dari kesejahteraan umum yang merupakan amanat konstitusi.
Kontroversi lain: dari produk tembakau sampai nakes asing
Sejumlah catatan lain mencuat dari UU Kesehatan, termasuk di antaranya mengkategorikan produk tembakau sebagai zat adiktif.
Lalu, UU Kesehatan yang baru disahkan ini memberlakukan surat tanda registrasi (STR) tenaga kesehatan domestik untuk seumur hidup.
Meski ini kabar baik dibanding kecenderungan praktik lama dari perspektif seperti administrasi dan biaya, ada tantangan kompetensi yang juga butuh solusi dan pengawasan agar tak menjadi sekadar "wajah" lain yang mempersulit tenaga kesehatan.
Sebaliknya, tenaga kerja asing diberlakukan pembatasan STR untuk empat tahun. Betul, UU Kesehatan yang baru disahkan ini membuka pintu bagi kedatangan tenaga kerja asing di Indonesia.
Di luar kontroversi
Meski demikian, sejumlah kabar baik juga datang dari UU Kesehatan yang baru disahkan. Misalnya, soal kewajiban bagi perusahaan menanggung biaya pengobatan karyawan.
Bagi pasien, kewajiban bagi tenaga kesehatan untuk sesegera mungkin menangani situasi darurat medis juga adalah kabar baik.
Harapannya, kisah-kisah pasien terlantar bahkan tak terselamatkan tersebab urusan administrasi dan biaya yang belum rampung, misalnya, tidak perlu muncul lagi.
UU Kesehatan mengancam pimpinan fasilitas kesehatan yang di organisasinya kedapatan lalai menangani situasi darurat medis dengan pidana penjara 10 tahun.
Meskipun, bagi tenaga kesehatan ini menjadi salah satu poin yang ditentang selama pembahasan RUU Kesehatan.
Patut dipikirkan juga mekanisme dan kesiapan untuk mengantisipasi kasus-kasus masyarakat yang tidak berkemampuan secara ekonomi tetapi membutuhkan perawatan dan tindakan medis, seturut aturan ini, tanpa menjadi beban tak bersolusi bagi fasilitas kesehatan.
Ancaman mogok tenaga kesehatan
Setelah RUU Kesehatan disahkan oleh DPR, sejumlah reaksi bermunculan, termasuk rencana demo bahkan mogok kerja di kalangan tenaga kesehatan.
Meski demonstrasi dalam beragam bentuk tidak dilarang, ada satu jalan lagi yang juga disarankan untuk ditempuh menyikapi beda pendapat terhadap regulasi ini. Jalan tersebut adalah judicial review alias uji materi ke Mahkamah Konstitusi.
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang selama ini juga lantang bersuara menentang RUU Kesehatan pun sudah menyatakan berencana menempuh jalan uji materi ini.
Karena, tidak lucu juga bila ada yang menganggap UU ini bermasalah tapi malah merespons dengan langkah yang bisa merugikan pelayanan kesehatan masyarakat.
Terlebih lagi, mau dokter, perawat, ataupun tenaga kesehatan lain, masing-masing dalam sumpahnya telah berjanji untuk mendahulukan kemanusiaan.
Naskah RUU Kesehatan di sidang paripurna
Berikut ini adalah naskah RUU Kesehatan yang dibawa dan disahkan di Sidang Paripurna DPR pada Selasa (11/7/2023) menjadi UU Kesehatan, yang dapat diakses dan atau diunduh langsung di sini:
Naskah: KOMPAS.com/PALUPI ANNISA AULIANI
Ikuti juga perkembangan pemberitaan terkait UU Kesehatan di topik liputan RUU Kesehatan di Kompas.com.
https://nasional.kompas.com/read/2023/07/13/11325051/menakar-omnibus-law-uu-kesehatan-tak-sekadar-kontroversi-demo-nakes