Di episode itulah muncul ksatria, yang baru saja menuntaskan pertapaannya. Dia menjauh dari keramaian dunia, menyendiri di tempat sunyi. Biasanya di tengah hutan belantara di lereng gunung.
Bila sumber lakon itu epos Mahabarata, ksatria itu adalah Arjuna, atau Abimanyu, putra Arjuna. Sang ksatria keluar dari pertapaan disambut para pengawal. Mereka disebut “punakawan”: Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong.
Semar, ayah ketiga “punakawan”, lalu menyarankan ksatria untuk menyelamatkan dunia yang sedang kacau. Ksatria berhasil mengatasi kekacauan.
Terbentuklah dunia baru yang “tata tentrem kerta raharja”, sebuah dunia yang tentram, yang menjamin pemenuhan kesejahteraan warga.
Sang ksatria adalah manusia baru, peradaban baru. Dilahirkan melalui “pencucian” di ruang liminal.
Saya melihat Covid-19 mengajarkan gotong royong secara serius. Bukan hanya untuk melawannya, tapi juga membangun kehidupan sosial baru.
Gotong royong bukan sekadar solidaritas saling membantu, tolong-menolong, tapi juga memahami bahwa keberadaan seseorang adalah bagian dari keberadaan orang lain. Gotong royong mengakui dan mengajak “yang lain” (the others).
Gotong royong niscaya menumbuhkan imunitas lahir dan batin, keadaan “tata tentrem kerta raharja”. Kebal dari virus biologis maupun sosial.
Status Covid-19 telah berubah menjadi endemi. Tapi, setiap wajah orang yang mati olehnya – mungkin orangtua kita, anak kita, suami/istri kita, saudara kita, rekan kita, tetangga kita – akan terus-menerus menatap kita.
Hingga kita memastikan tak ada lagi kematian serupa, karena tata kehidupan baru yang saling melindungi antarmanusia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.