Salin Artikel

Dari Pandemi ke Endemi Covid-19: Liminalitas, Manusia, dan Peradaban Baru

Melalui Keppres tersebut, status pandemi Covid-19 di Indonesia dinyatakan telah berakhir sejak 21 Juni 2023. Statusnya diubah menjadi penyakit endemi (Kompas.com, 30 Juni 2023).

Sepatutnya kita bersyukur. Bencana yang menguras energi, pikiran, dan “memakan” hati telah berlalu. Perang tanpa tahu posisi musuh. Tahu-tahu nyawa melayang. Kematian susul-menyusul dalam waktu cepat.

Kesedihan demi kesedihan telah kita lewati. Namun, begitu banyak pula pelajaran berharga yang tak boleh lenyap begitu saja, yang mestinya membuat kita memiliki sistem imun, baik dimensi jiwa maupun raga, yang lebih baik pada masa depan.

Menurut catatan saya, meski sudah menghebohkan dunia sejak akhir 2019, Indonesia pertama kali mengonfirmasi secara resmi kasus Covid-19 pada Senin, 2 Maret 2020.

Saat itu, Presiden Joko Widodo mengumumkan ada dua orang Indonesia positif terjangkit virus Corona, yakni perempuan berusia 31 tahun dan ibu berusia 64 tahun.

Mitos Indonesia “kebal” virus Corona pun patah. Ternyata virus tersebut tidak mati saat masuk kawasan Indonesia yang beriklim tropis. Virus lalu menyebar ke segala arah dalam waktu cepat.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) lalu menyatakan Covid-19 sebagai pandemi. Virus tersebut telah menyerang hampir seluruh permukaan bumi.

Tak ada negara dan bangsa yang digdaya. Eropa yang dikenal pusat kemajuan, Amerika Serikat yang dijuluki adidaya, kalang kabut.

Covid-19 membunuh puluhan juta manusia tanpa suara. Covid-19 benar-benar tak mengenal suku, agama, ras, golongan sosial, dan kebangsaan.

Kematian yang susul-menyusul, yang massal dan dalam jangka waktu cepat, tentu bukan kematian wajar. Pasti kematian akibat bencana. Kematian yang sesungguhnya bisa dicegah.

Bukankah tugas negara modern di antaranya adalah melindungi rakyat dari bencana dan kematian tak wajar lain?

Bahkan, negara dibiayai dan wajib mengusut kematian warganya yang ditengarai tak wajar. Wajib pula menghukum pelakunya.

Meski kematian akibat Covid-19 tak bisa diadili, tetap saja setiap kematian akibat Covid-19 adalah kematian seorang warga negara. Yang sarat pesan, sekaligus mengingatkan bahwa negara wajib melindungi warganya.

Negara wajib menjauhkan warganya dari bencana apapun dan kematian tak wajar lain. Meski biayanya tak murah.

Kantor-kantor sepi. Sekolah-sekolah sepi. Pusat perbelanjaan sepi. Tempat ibadah pun sepi.

Saya teringat teori liminalitas van Gennep. Antropolog berdarah Belanda itu memperkenalkan ruang liminal, ruang “transisi” (antara). Dari dunia “sini” menuju dunia “sana”.

Di ruang liminal manusia mengambil jarak. Dari “yang sudah” untuk memasuki “yang akan”. Kata van Gennep, manusia “disucikan” di ruang liminal.

Di ruang liminal itulah kita merenung, merefleksikan apa yang pernah dijalani sebagai bekal memasuki hari esok. Di ruang liminal itulah kita merumuskan masa depan.

Covid-19 nyata-nyata memaksa kita untuk memasuki ruang liminal, yang sepi dan membosankan.

Kita dipaksa berjarak dengan kehidupan sehari-hari yang ingar-bingar, yang penuh kompetisi saling mengalahkan. Yang tak jarang dilakukan secara tidak adil, diskriminatif, penuh kelicikan dan kekerasan. Serba tak peduli.

Di ruang liminal itu Covid-19 memaksa kita mengerti arti seseorang bagi orang lain, dan orang lain bagi seseorang. Covid-19 memaksa seseorang melihat dirinya pada diri orang lain.

Buat bumi kita ini barangkali manusia dengan peradaban modernnya adalah virus, dan Covid-19 adalah anti-virusnya.

Agama juga mengajarkan liminalitas kepada pemeluknya. Yang Muslim, misalnya, bulan Ramadhan diwajibkan puasa selama satu bulan penuh, sebelum akhirnya mendapati Idul Fitri.

Umat Hindu di Pulau Dewata melakoni Nyepi setiap tahun sekali. Begitu pula agama yang lain, mengajarkan cara masing-masing untuk memasuki ruang liminal.

Ternyata manusia perlu berhenti sejenak untuk berkaca, lalu berjalan lagi. Bila agama mengajak dengan cara yang berbeda-beda, ternyata Covid-19 kemarin memaksa dengan cara yang sama kepada manusia yang berbeda-beda agama, ras, suku, golongan sosial, dan kebangsaan.

Saya penggemar pertunjukan wayang kulit. Di setiap lakon selalu ada episode “gara-gara”. Dalang wayang kulit selalu mewacanakan bab “pageblug”, keadaan dunia yang gawat sekali.

Wabah penyakit selalu berujung kematian. Pagi seseorang sakit, sore mati. Sore seseorang sakit, pagi mati. Kira-kira mirip pandemi Covid-19.

Pak dalang tak menjelaskan penyebabnya. Yang pasti narasi “pageblug” selalu menyertai episode “gara-gara”. Biasanya sesudah urutan cerita separuh lebih. Dari segi waktu sudah masuk dini hari untuk pertunjukan semalam suntuk.

Di episode itulah muncul ksatria, yang baru saja menuntaskan pertapaannya. Dia menjauh dari keramaian dunia, menyendiri di tempat sunyi. Biasanya di tengah hutan belantara di lereng gunung.

Bila sumber lakon itu epos Mahabarata, ksatria itu adalah Arjuna, atau Abimanyu, putra Arjuna. Sang ksatria keluar dari pertapaan disambut para pengawal. Mereka disebut “punakawan”: Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong.

Semar, ayah ketiga “punakawan”, lalu menyarankan ksatria untuk menyelamatkan dunia yang sedang kacau. Ksatria berhasil mengatasi kekacauan.

Terbentuklah dunia baru yang “tata tentrem kerta raharja”, sebuah dunia yang tentram, yang menjamin pemenuhan kesejahteraan warga.

Sang ksatria adalah manusia baru, peradaban baru. Dilahirkan melalui “pencucian” di ruang liminal.

Saya melihat Covid-19 mengajarkan gotong royong secara serius. Bukan hanya untuk melawannya, tapi juga membangun kehidupan sosial baru.

Gotong royong bukan sekadar solidaritas saling membantu, tolong-menolong, tapi juga memahami bahwa keberadaan seseorang adalah bagian dari keberadaan orang lain. Gotong royong mengakui dan mengajak “yang lain” (the others).

Gotong royong niscaya menumbuhkan imunitas lahir dan batin, keadaan “tata tentrem kerta raharja”. Kebal dari virus biologis maupun sosial.

Status Covid-19 telah berubah menjadi endemi. Tapi, setiap wajah orang yang mati olehnya – mungkin orangtua kita, anak kita, suami/istri kita, saudara kita, rekan kita, tetangga kita – akan terus-menerus menatap kita.

Hingga kita memastikan tak ada lagi kematian serupa, karena tata kehidupan baru yang saling melindungi antarmanusia.

https://nasional.kompas.com/read/2023/07/04/06000011/dari-pandemi-ke-endemi-covid-19--liminalitas-manusia-dan-peradaban-baru

Terkini Lainnya

Sejarah Hari Buku Nasional

Sejarah Hari Buku Nasional

Nasional
Tanggal 15 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 15 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
UPDATE BNPB: 19 Orang Meninggal akibat Banjir Bandang di Agam Sumbar

UPDATE BNPB: 19 Orang Meninggal akibat Banjir Bandang di Agam Sumbar

Nasional
KNKT Investigasi Kecelakaan Bus Rombongan Siswa di Subang, Fokus pada Kelayakan Kendaraan

KNKT Investigasi Kecelakaan Bus Rombongan Siswa di Subang, Fokus pada Kelayakan Kendaraan

Nasional
Partai Buruh Berniat Gugat Aturan Usung Calon Kepala Daerah ke MK

Partai Buruh Berniat Gugat Aturan Usung Calon Kepala Daerah ke MK

Nasional
Cerita Sulitnya Jadi Ketua KPK, Agus Rahardjo: Penyidik Tunduk ke Kapolri, Kejaksaan, Sampai BIN

Cerita Sulitnya Jadi Ketua KPK, Agus Rahardjo: Penyidik Tunduk ke Kapolri, Kejaksaan, Sampai BIN

Nasional
Jemaah Haji Mulai Diberangkatkan, Fahira Idris: Semoga Sehat, Selamat, dan Mabrur

Jemaah Haji Mulai Diberangkatkan, Fahira Idris: Semoga Sehat, Selamat, dan Mabrur

Nasional
Jemaah Haji Gelombang Pertama Tiba di Madinah, Disambut Meriah

Jemaah Haji Gelombang Pertama Tiba di Madinah, Disambut Meriah

Nasional
Jokowi Diminta Tak Cawe-cawe Pemilihan Capim KPK

Jokowi Diminta Tak Cawe-cawe Pemilihan Capim KPK

Nasional
PBNU: Pratik Haji Ilegal Rampas Hak Kenyamanan Jemaah

PBNU: Pratik Haji Ilegal Rampas Hak Kenyamanan Jemaah

Nasional
Prabowo Disebut Bisa Kena Getah jika Pansel Capim KPK Bentukan Jokowi Buruk

Prabowo Disebut Bisa Kena Getah jika Pansel Capim KPK Bentukan Jokowi Buruk

Nasional
Gerindra Dorong Penyederhanaan Demokrasi Indonesia: Rakyat Tak Harus Berhadapan dengan TPS

Gerindra Dorong Penyederhanaan Demokrasi Indonesia: Rakyat Tak Harus Berhadapan dengan TPS

Nasional
Sekjen Gerindra Sebut Revisi UU Kementerian Negara Dimungkinkan Tuntas Sebelum Pelantikan Prabowo

Sekjen Gerindra Sebut Revisi UU Kementerian Negara Dimungkinkan Tuntas Sebelum Pelantikan Prabowo

Nasional
Pimpinan Komisi X Bantah Pernyataan Stafsus Jokowi soal Banyak Keluarga dan Orang Dekat DPR Menerima KIP Kuliah

Pimpinan Komisi X Bantah Pernyataan Stafsus Jokowi soal Banyak Keluarga dan Orang Dekat DPR Menerima KIP Kuliah

Nasional
Gerindra Siapkan 4 Kader Maju Pilkada DKI, Ada Riza Patria, Budi Satrio, dan Sara

Gerindra Siapkan 4 Kader Maju Pilkada DKI, Ada Riza Patria, Budi Satrio, dan Sara

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke