Sebagaimana tesis Jefrey sendiri “sesungguhnya tidak ada pertentangan yang inheren antara oligarki dengan demokrasi”.
Pandangan penulis bahwa tidak ada satupun bacapres yang luput dari pengaruh oligarki didasarkan pada tiga kondisi faktual hari ini.
Pertama, rupa oligarki yang telah menjadi bagian dari partai koalisi pendukung (sebagaimana yang sudah dijelaskan sebelumnya).
Kedua, ongkos pilpres yang besar, dan ketiga, fakta bahwa kekayaan para bacapres tidak mungkin bisa menutupi biaya pemilihan presiden.
Pada praktiknya, biaya pilpres yang dibutuhkan biasanya memiliki tiga termin pengeluaran, yaitu: biaya sebelum pencapresan (biaya “membeli partai” dan promosi saat menjadi bacapres), biaya kampanye (setelah masuk tahap pencalonan atau pendaftaran calon di KPU), dan biaya saat pilpres (saat dan setelah pilpres berlangsung sampai penetapan hasil oleh KPU).
Dana safari politik ke daerah-daerah untuk memperkenalkan diri kepada rakyat serta dana kampanye, sudah tentu membutuhkan jumlah yang banyak.
Sebab, para kandidat capres tentu berharap mendapatkan jumlah suara sebanyak-banyaknya dan dari distribusi wilayah yang seluas-luasnya. Untuk mencapai itu, mengelilingi Indonesia adalah keharusan.
Situasi geografis Indonesia yang berpulau-pulau tentu membutuhkan biaya yang besar untuk merealisasikan hal itu.
Dari segi dana kampanye, biaya yang diperlukan untuk saksi di Tempat Pemungutan Suara (TPS) cukup banyak.
Merujuk pada hitung-hitungan pemilu tahun 2019 lalu, terdapat sebanyak 805.605 TPS yang tersebar di seluruh Indonesia.
Sedangkan besaran honor bagi seorang saksi adalah Rp 200.000 per orang. Jika kandidat capres menempatkan satu saksi di setiap TPS, maka besaran dana yang dibutuhkan untuk honor para saksi adalah sebesar Rp 161 miliar lebih.
Angka itu tentu saja akan semakin berlipat ganda jika jumlah saksi diperbanyak, jumlah TPS bertambah, serta honor saksi naik (misalnya disesuaikan dengan angka inflasi tahun 2024 nanti).
Jikapun nantinya para sksi dibiayai negara, tetap saja, para kandidat harus memberi dari uang mereka juga.
Biaya lain yang juga diperlukan, dan tidak kalah besarnya, berkaitan dengan promosi kandidat di berbagai media, baik media luar ruang (spanduk, banner, baliho, stiker, dan lain-lain) maupun media massa dan media baru (televisi, radio, media online – media sosial melalui podcast, serta pemanfaatan influencer, youtuber, buzzer, dan lain-lain).
Mari kita tengok kondisi finansial ketiga bacapres yang hari ini masuk dalam bursa; Ganjar, Prabowo, dan Anies.
Berikut Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), sebagaimana yang dirilis Kompas.com (Kamis, 29 Juni 2023).
Prabowo Subianto memiliki harta kekyaan sebanyak Rp 2 Triliun lebih (Laporan LHKPN) tahun 2022. Tentu saja, jumlah tersebut juga mengikutkan tanah, bangunan, dan kendaraan bermotor.
Anies Baswedan, berdasarkan LHKPN tahun 2021, memiliki harta sebanyak Rp 10 Milliar lebih.
Sama dengan Prabowo, harta Anies tersebut tidak hanya berbentuk dana tunai, namun juga berupa tanah dan kendaraan bermotor.
Sedangkan Ganjar Pranowo memiliki harta kekayaan sebanyak Rp 13,4 miliar. Jumlah tersebut berdasarkan laporan LHKPN Desember 2022.
Masih sama dengan dua rivalnya, harta kekayaan Ganjar juga berupa tanah, kendaraan bermotor, surat berharga, dan uang tunai.
Meski data kekayaan tersebut adalah laporan LHKPN tahun sebelumnya (Anies tahun 2021), bisa dipastikan per hari ini, hingga masa pencapresan nanti (kurang dari 8 bulan lagi), angka kenaikan harta kekayaan mereka dipastikan tidak akan terlalu signifikan.
Sebab, gaji sebagai penyelenggara negara (Ganjar sebagai Gubernur Jawa Tengah dan Prabowo sebagai Menhankam RI) tidak terlalu besar – terlebih Anies yang tidak menduduki jabatan publik apapun sejak purna tugas sebagai Gubernur DKI Jakarta.