Pelakunya dapat ditindak kasus penganiayaan, baik hukum berlaku di dalam negeri maupun luar negeri. Namun, tidak bisa serta-merta dikategorikan praktik TPPO.
Kasus ketenagakerjaan seperti itu tak pelak juga menimpa PMI legal yang berangkat secara resmi mengikuti ketentuan pemerintah. Bahkan, PMI berangkat secara G to G (Goverment to Goverment) pun tak luput dari kasus ketenagakerjaan buruk dan akhirnya menjadi PMI Ilegal di Korea Selatan.
Meskipun ada PMI mengalami nasib ketenagakerjaan yang buruk, namun PMI Unprosedural banyak mengalami kondisi ketenagakerjaan yang baik, bahkan mendapatkan perlakuan yang menyenangkan.
Analisis data dari Migrant Watch secara umum mengestimasi kondisi PMI (baik legal maupun unprosedural, bukan TPPO) yang sekarang sedang bekerja di luar negeri sebagai berikut:
Sebagai catatan, estimasi ini bisa berbeda-beda setiap negara penempatan PMI. Seperti, Malaysia jumlah PMI ilegal lebih banyak mengalami kondisi kerja kurang layak, gaji tidak layak, jam kerja berlebih dan tanpa pengekangan daripada Taiwan, Hongkong, Singapura dan Jepang.
Sementara pada PMI legal, baik diberangkatkan oleh swasta maupun pemerintah, tidak ada mengalami kasus penganiayaan, penyekapan dan gaji tidak layak.
Namun, PMI Legal mengalami kondisi kerja dan gaji kurang layak, jam kerja berlebih tanpa pengekangan adalah kasus paling banyak terjadi. Angkanya hampir sama dengan PMI Unprosedural.
Melihat persoalan tersebut di atas, sesungguhnya kebutuhan PMI adalah kehadiran negara untuk memperjuangkan pelindungan hak-hak kerjanya dan meminimalkan kondisi kerja yang tidak layak, serta memperjuangkan gaji yang lebih adil dan tanpa diskriminatif pada pekerja migran.
Ada ketentuan keimigrasian di negara penempatan, ilegal menurut pemerintah Indonesia tetapi legal di negara penempatan. Legal menurut Indonesia, tetapi ilegal menurut negara penempatan.
Maka PMI mau mempertaruhkan dirinya berangkat meski ilegal menurut Indonesia
Sebagian besar PMI berhasil mengubah hidupnya keluar dari kemiskinan. Mereka menjadi manusia unggul karena memiliki etos kerja yang bagus dan wawasan yang luas serta terjadinya transfer knowledge.
Ingat, mereka juga penyumbang devisa terbesar terhadap negara Indonesia dan uang remitansi sangat nyata menyentuh masyarakat.
Seharusnya, pemerintah fokus ke persoalan substantif PMI, yaitu kenapa banyak PMI Ilegal atau unprosedural, sampai angkanya 5 juta orang. Berarti ada sistem yang salah.
Bukan dengan cara menglorifikasi isu TPPO, sehingga menghilangkan substansi pelindungan PMI dan "membunuh" hak rakyat bekerja ke luar negeri.
Tentang PMI Unprosedural, akan tetap terus terjadi apabila tidak dibuat sistem tata kelola yang praktis dan mudah. Selagi sistem pelayanan pelindungan PMI berbelit-belit, ruwet dan proses panjang, maka membuat para pencari kerja akan memilih cara unprosedural.
Sistem yang ada sekarang, keberangkatan PMI sampai 6 bulan bahkan sampai satu tahun karena prosesnya yang lama dan berbelit-belit sehingga menimbulkan pembengkakan biaya.
PMI juga sering terhambat oleh kebijakan dan peraturan yang tidak luwes serta tidak adaptip pada pasar kerja global, bahkan malah mengintervensi negara penempatan tanpa melakukan pembicaraan kedua belah pihak.
Seperti pemberlakuan "zero cost" (bebas biaya) yang tidak memisahkan antara biaya penempatan dengan biaya jati diri.
Kebijakan zero cost ini tidak diterima oleh sebagian besar negara-negara penempatan, seperti Taiwan, Hongkong, Singapura dan berbagai negara lainnya. Kecuali negara-negara kawasan Timur Tengah dan Malaysia menerapkan zero cost pada pekerja domestik.
PMI ilegal juga terbentuk karena tidak adanya sistem pelayanan pada kasus PMI yang kabur dari majikan, overstay, pindah majikan baru dan berbagai kasus lainnya.
PMI unprosedural juga akan tetap nekat dilakukan selagi pemberlakuan pelarangan PMI domestik bekerja ke negara-negara maju kawasan Timur Tengah (seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Qatar dan Kuwait) masih tetap ditutup.
Bekerja ke negara tersebut, selain tanpa ada biaya dikeluarkan, juga tidak mempermasalahkan mereka yang hanya berpendidikan SMP ke bawah.
Begitu juga, selagi penempatan PMI ke Arab Saudi dimonopoli oleh satu asosiasi jasa penyalur tenaga kerja dan pemerintah tidak menciptakan persaingan usaha yang sehat, maka akan menimbulkan kekacauan dan memunculkan penempatan secara unprosedural.
Atas hal tersebut di atas, pembenahan sistem tata kelola PMI semestinya mendapat etensi tinggi juga dari presiden, sama seperti atensi pemberantasan TPPO.
Menata kembali sistem Pelindungan Pekerja Migran Indonesia yang sekarang karut-marut, sehingga terbentuk sistem yang mudah, cepat dan terlindungi.
Presiden semestinya hadir mengerakan stakeholder untuk melakukan optimalisasi penempatan yang melindungi hak-hak PMI. Karena keterbatasan lapangan pekerjaan dalam negeri dan mengerakan bonus demografi agar produktif maka pasar kerja global dioptimalkan.
Atas aksi Satgas TPPO menindak dan mengamankan PMI Unprosedural merupakan salah alamat. Ini bisa berpotensi abuse of power (penyalahgunaan wewenang) karena acauan hukum penindakan perdagangan orang adalah Undang-undang No. 21 tahun 2007.
Kasus PMI Unprosedural adalah kasus maladministrasi ketenagakerjaan, bukan praktik perdagangan orang. Acuan hukumnya adalah Undang-undang No. 18 Tahun 2017.
Penindakannya di bawah Kementerian Tenaga Kerja dan BP2MI dengan melakukan perbantuan dari pihak kepolisian.
Jika pemerintah fokus kepada penindakan penempatan PMI ilegal, semestinya presiden membentuk Satgas khusus tersendiri. Jangan mengunakan atribut Satgas TPPO.
Pasalnya, pelaku atau korban belum tentu merupakan praktik perdagangan orang, tetapi sudah distigmakan ke publik kasus TTPO.
Ini bisa berpotensi seperti "Petrusisasi" kepada masyarakat pencari kerja ke luar negeri.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.