Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Aznil Tan
Direktur Eksekutif Migrant Watch

Direktur Eksekutif Migrant Watch

Glorifikasi Isu TPPO dan Tenggelamnya Pekerja Migran Unprosedural

Kompas.com - 23/06/2023, 14:29 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DULU pada 1980-an, ada peristiwa Petrus (Penembak Misterius). Waktu itu, orang-orang bertato dan preman jalanan dilabeli sebagai pelaku kejahatan.

Lalu muncullah Operasi Pemberantasan Kejahatan (OPK) yang digelar oleh Garnisun Kodim 0734 Yogyakarta pada 1983. Orang bertato tersebut dinyatakan sebagai penganggu ketertiban umum yang pantas dibunuh.

Kemudian pembunuhan tersebut semakin meluas dan terkonsentrasi di kota-kota besar lainnya, seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, hingga Semarang. Ribuan orang tewas ditembak secara mengenaskan oleh penembak misterius tanpa pernah diadili.

Para korban Petrus mayatnya dibuang di depan bioskop, di tengah pasar yang ramai, bahkan di sekolah-sekolah tempat anak-anak belajar. Mayatnya dalam kondisi mengenaskan, terikat dan bekas luka penyiksaan.

Pemuda bertato meskipun sebagai bentuk seni jadi ketakutan menjadi sasaran Petrus.

Peristiwa Petrus ini menjadi sejarah kelam dan masih menjadi traumatik publik atas adanya praktik sewenang-wenangan penguasa.

Peristiwa pelanggaran HAM berat tersebut kemudian salah-satu pemicu penumbangan Soeharto menuntut reformasi 1998.

Sekarang lagi gencar-gencarnya aksi pemberantasan perdagangan orang (Human Trafficking) dilakukan oleh Satuan Tugas Tindak Pidana Perdagangan Orang (Satgas TPPO) dari kepolisian.

Aksi ini menyasar dan terkonsentrasi kepada Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang dulu disebut TKI.

Isu TPPO akhir-akhir ini mencuat beranjak dari data yang disampaikan BP2MI bersama Kemenko Polhukam, bahwa ada 1.900 mayat PMI dikirim ke Indonesia disebabkan praktik TPPO.

Dilaporkan juga, ada sebanyak 5 juta PMI berangkat secara ilegal dari 9 juta PMI di seluruh dunia. Lalu dinyatakan korban praktik TPPO.

Data tersebut menjadi dasar yang kuat terbitnya Perpres No. 19 Tahun 2023 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang Tahun 2020-2024.

Satuan Tugas Tindak Pidana Perdagangan Orang (Satgas TPPO) langsung bergerak cepat. Dari operasi Satgas TPPO yang diliput media, beberapa ribu PMI ilegal berhasil digagalkan keberangkatannya yang hendak bekerja keluar negeri (istilah Satgas TPPO diselamatkan). Beberapa ratus orang diduga pelaku TPPO ditangkap.

Kinerja ini kemudian diklaim sebagai prestasi Satgas TPPO dalam gerak cepat melaksanakan perintah Presiden Jokowi pada pemberantasan praktik TPPO.

Peristiwa ini penting dipantau oleh publik untuk mengetahui kebenarannya. Apalagi hal ini menyangkut kepentingan hajat hidup orang banyak atas Hak Asasi Manusia mendapat pekerjaan.

Terutama mengecek atau melakukan validitas data yang disampaikan BP2MI dan Menkopolkam Mahfud MD. Kesalahan data bisa berakibat fatal dalam mengambil keputusan.

Selain itu, publik penting memantau kerja Satgas TPPO di lapangan agar tidak terjadi "Petrusisasi" bentuk lain. Yaitu melabeli para pencari kerja migran dan jasa penyalur melakukan praktik TPPO. Mereka belum tentu korban dan terlibat kasus TPPO.

"Petrusisasi" ala sekarang bisa berpotensi membunuh HAM mendapatkan pekerjaan yang dijamin oleh konstitusi Indonesia dan Konvensi Internasional.

Aksi operasi Satgas TPPO di lapangan tanpa dibekali pemahaman matang tentang TPPO dan PMI bisa berpotensi terjadi praktik abuse of power yang mencampur-adukan antara kasus TPPO dengan kasus maladministrasi.

Wewenang Satgas TPPO menindak pelaku perdagangan orang, namun melebar ke PMI unprosedural yang semestinya menjadi kewenangan Kementerian Tenaga Kerja dan BP2MI untuk menindaknya.

Calon PMI legal yang sedang dalam tahap proses pun jadi ketakutan dipermasalahkan oleh Satgas TPPO.

Ada kasus PMI ditahan dan dipulangkan karena dianggap sebagai korban TPPO, sementara mereka PMI legal masih dalam tahap proses. Sementara kasus PMI unprosedural, bukan korban TPPO, mereka tidak difasilitasi untuk berangkat legal.

Validasi data

Sebagaimana dijelaskan di atas, dua data BP2MI perlu diuji kebenarannya. Pertama, data sebanyak 1.900 mayat PMI meninggal akibat TPPO atau penganiayaan per tahun.

Meskipun berapa hari kemudian, data tersebut dikoreksi oleh BP2MI, bahwa 1.900 kantong jenazah dikirim ke Indonesia tersebut adalah dalam kurun waktu 3 tahun dari berbagai negara. Jadi, sebenarnya rata-rata 634 mayat PMI per tahun dikirim ke Indonesia.

BP2MI juga menyampaikan banyak penyebab PMI meninggal. Namun tidak diuraikan persentase masing-masing variasi tersebut, seperti berapa angka korban meninggal akibat TPPO, berapa akibat kecelakaan kerja, sakit dan akibat lainnya.

Sebenarnya data ini bisa diuraikan oleh BP2MI secara rinci ke publik dengan mengambil data manifes pengiriman mayat, terutama pada Sertifikat Medis Penyebab Kematian - Medical Certificate of Cause of Death (MCCD). Dari sana bisa diketahui penyebab kematian dan di mana seseorang itu meninggal.

BP2MI hanya menyampaikan rata-rata penyebab kematian karena korban penyiksaan dan kelelahan imbas dieksploitasi selama bekerja di luar negeri. Ini cara kerja kurang profesional.

Namun, meskipun jumlahnya sudah dikoreksi, tetapi Menkopolkam Mahfud MD sudah terlanjur mengungkap data salah tersebut ke presiden dan publik: bahwa 1.900 mayat PMI dikirim setiap tahun ke Indonesia, lalu mengeneralisasinya sebagai korban TPPO.

Berdasarkan data dari World Bank, mortalitas (angka rata-rata kematian penduduk) di Indonesia adalah 6,5 per 1.000 penduduk. Secara sederhana, rata-rata angka kematian di Indonesia dari berbagai penyebab ialah 0,65 persen per tahun.

Dari 9 juta jumlah PMI berada di seluruh dunia dikali 0,65 persen sama dengan 58.500 kantong mayat semestinya dikirim ke Indonesia per tahun. Sementara, peti jenazah PMI dikirim ke Indonesia rata-rata sebanyak 634 mayat PMI.

Angka kematian PMI ini jauh lebih kecil dari mortalitas, yaitu berkisar 0,007 persen dari 9 juta PMI berada di seluruh dunia. Kecilnya angka kematian ini bisa saja karena mereka berusia produktif, berumur antara 19 - 50 tahun.

Kedua, data dilaporkan oleh BP2MI, bahwa ada 5 juta PMI ilegal dari 9 juta Warga Negara Indonesia bekerja di seluruh dunia.

Lalu dinyatakan BP2MI, bahwa PMI ilegal tersebut adalah 80 persen korban TPPO. Artinya, ada sekitar 4 juta PMI korban TPPO yang sedang mengalami penganiayaan, eksploitasi atau diperas keringatnya untuk mendapat keuntungan.

Tentang data TPPO, tidak ada data pasti berapa jumlah warga negara Indonesia korban perdagangan orang, baik diperjual-belikan di dalam negeri maupun dikirim ke luar negeri. Ini sulit didapatkan datanya, karena kegiatan ini terselubung dan sistematis.

Berdasarkan laporan Trafficking in Person Report United States of America tahun 2022 adalah sebanyak 90.354 orang korban TPPO di seluruh dunia pada 2021. Korban ini berasal dari Asia Selatan, Asia Tengah, Afrika, Eropa dan Amerika.

Sementara di Indonesia, korban TPPO teridentifikasi rentang tahun 2020 - 2022 sebanyak 1.387 orang. Pada 2019, sebanyak 226 orang jadi korban TPPO.

Data ini terkonfirmasi dari kasus ratusan PMI bekerja sebagai operator judi online yang mengalami penyekapan dan penyiksaan yang baru-baru ini terungkap di Myanmar dan Kamboja.

Kasus ini juga terlacak, puluhan orang PMI diperlakukan seperti budak di Suriah, Irak, Arab Saudi dan Malaysia.

Dari data tersebut, korban TPPO berkisar 0,03 persen dari 5 juta PMI ilegal berangkat ke luar negeri. Sementara, 99,97 persen PMI ilegal lainnya adalah bukan korban TPPO.

Dari bedah dua data disampaikan oleh BP2MI dan Menkopolkam tersebut dapat disimpulkan bahwa data tersebut tidak akurat dan lemah validitasnya.

Glorifikasi isu TPPO dan tenggelamnya Isu PMI unprosedural

Data TPPO tidak sedramatisir data dipaparkan oleh BP2MI dan Menkopolkam. Angka TPPO menimpa PMI berkisar 0,03 persen, tapi bisa mengalahkan isu 99,97 persen PMI Unprosedural yang juga butuh kehadiran negara untuk dicarikan solusinya. Namun isu ini hilang oleh glorifikasi isu TPPO.

Data TPPO diglorifikasi dengan melebih-lebihkan fakta dan menyimpangkan karakteristik TPPO yang sesungguhnya. Diolah sedemikian rupa bahwa Indonesia dalam kondisi gawat darurat TPPO dan harus mendapat perhatian utama.

BP2MI dan Menkopolkam menglorifikasi isu TPPO lebih berkesan mencari sensasional di tengah panggung politik 2024 daripada mencari solusi akar permasalahannya. Seakan paling heroik menyikapi isu yang dibahas pada KTT ASEAN 2023.

Sementara data yang disampaikan adalah data kasus ketenagakerjaan dan kasus kriminal menimpa pada PMI Unprosedural, bukan kasus TPPO.

Glorifikasi isu TPPO ini dapat berbahaya dalam keilmihan mengelola negara serta menyangkut harga diri bangsa.

Pemerintah sama menepuk air di dulang. Berarti, selama ini negara gagal melindungi warga negaranya bekerja ke luar negeri sehingga jutaan warga negara Indonesia jadi korban TPPO. Berarti, selama ini negara dikelola seperti "warung kopi" tanpa manajemen yang baik.

Selain itu, glorifikasi isu TPPO dapat berdampak negatif pada dunia penempatan PMI yang diframing dunia penuh kejahatan yang melakukan eksploitasi manusia.

Melakukan framing pelaku jasa penyalur tenaga kerja sebagai kegiatan perdagangan orang. Sedangkan jasa tenaga kerja adalah kegiatan legal oleh negara seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Di tengah negara kekurangan lapangan pekerjaan dan dunia dalam kondisi krisis global, ketenagakerjaan migran seperti dunia hitam sarat eksploitasi.

Melakukan framing seperti itu dapat mengaburkan, bahkan menghilangkan pemahaman yang sebenarnya dan kompleksitas serta nuansa yang ada dalam masalah TPPO.

Glorifikasi isu TPPO terjadi sekarang ini lebih mengarah pada cara jalan pintas dan mengabaikan akar permasalahan sesungguhnya. Hanya bersifat simbolis atau reaktif, tanpa ada solusi jangka panjang yang berkelanjutan.

Tidak fokus pada pendekatan yang komprehensif atas pemahaman yang akurat tentang penyebab, dampak, dan solusi yang efektif.

Tidak memisahkan antara TPPO dengan PMI Unprosedural dapat menimbulkan kekeliruan dan merusak reputasi dunia penempatan PMI di mata publik. Sedangkan, TPPO dengan PMI adalah dua hal berbeda.

TPPO secara sederhananya adalah perbudakan modern atau human trafficking. Dulu pada perbudakan kuno di mana seseorang bisa dianggap seperti "hewan ternak" sebagai hak milik propertinya dan bisa digunakan sesuka hatinya.

Sedangkan, TPPO adalah orang dalam pengendalian fisik, psikologis, atau finansial oleh seseorang atau sindikat di belakangnya.

Pengendalian ini berupa menjual korban kepada pihak lain atau mempergunakannya untuk dieksploitasi demi mendapatkan keuntungan. Biasanya korban didapat dengan cara tipu daya, terlilit hutang, atau penculikan.

Secara umum contoh praktik TPPO dapat ditemukan pada mucikari memperdagangkan orang sebagai pekerja sek komersial, orang diperkerjakan pada pekerjaan di luar kemampuannya (kerja paksa), atau orang diperdagangkan organ tubuhnya.

Praktik ini sungguh tidak manusiawi dan membunuh HAM. Maka perdagangan orang sudah menjadi musuh dunia.

Pada Konvensi Internasional Protokol Palermo sudah sepakat melarang Perdagangan Orang pada 2000 dan mulai berlaku pada tahun 2003.

Dari Protokol Palermo ini, negara-negara di dunia mengadopsi undang-undang dan kebijakan yang konsisten dengan definisi perdagangan orang yang tercantum di dalamnya.

Indonesia pada 2007 menerbitkan Undang-undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

Sedangkan, definisi PMI Unprosedural adalah orang bekerja keluar negeri secara sadar tanpa di bawah kendali atau tekanan seseorang yang mengeksploitasinya.

Namun, dia berangkat bekerja ke luar negeri secara unprosedural, yaitu tanpa mengikuti ketentuan dan peraturan ditetapkan oleh pemerintah. Kasus mereka adalah kasus maladministrasi, bukan kasus TPPO.

Status PMI tersebut adalah pekerja merdeka tanpa ada yang mengendalikannya atau dalam kontrol seseorang yang mengancamnya, terlilit hutang atau diculik.

Mereka bekerja ke luar negeri atas pilihannya dan menyadari bekerja pada sektor pekerjaan kasar seperti pembantu rumah tangga, kuli bangunan/konstruksi, perkebunan, ABK penangkap ikan dan sebagainya.

Pada PMI Unprosedural ini memang berpotensi rentan perlakuan kasar, kekerasan, kondisi kerja yang tidak layak, keselamatan kerja tidak tersedia, dan tanpa memiliki jaminan sosial. Jika PMI mengalami hal tersebut, maka masuk ke ranah kasus ketenagakerjaan.

Pelakunya dapat ditindak kasus penganiayaan, baik hukum berlaku di dalam negeri maupun luar negeri. Namun, tidak bisa serta-merta dikategorikan praktik TPPO.

Kasus ketenagakerjaan seperti itu tak pelak juga menimpa PMI legal yang berangkat secara resmi mengikuti ketentuan pemerintah. Bahkan, PMI berangkat secara G to G (Goverment to Goverment) pun tak luput dari kasus ketenagakerjaan buruk dan akhirnya menjadi PMI Ilegal di Korea Selatan.

Meskipun ada PMI mengalami nasib ketenagakerjaan yang buruk, namun PMI Unprosedural banyak mengalami kondisi ketenagakerjaan yang baik, bahkan mendapatkan perlakuan yang menyenangkan.

Analisis data dari Migrant Watch secara umum mengestimasi kondisi PMI (baik legal maupun unprosedural, bukan TPPO) yang sekarang sedang bekerja di luar negeri sebagai berikut:

  • PMI 0,02 persen mengalami kondisi bekerja di luar batas, jam kerja berlebih, pengekangan, perlakuan kasar dan gaji sangat tidak layak (Dalam 10.000 PMI terjadi korban sebanyak 2 orang).
  • 1,9 persen PMI mengalami kondisi kerja dan gaji kurang layak, jam kerja berlebih, tanpa pengekangan dan perlakuan kasar (Dalam 10.000 PMI terjadi korban sebanyak 190 orang).
  • 83 persen PMI mengalami kondisi kerja yang sesuai ketentuan ketenagakerjaan berlaku di negara penempatan atau kontrak kerja (Dalam 10.000 PMI terdapat sebanyak 8.300 orang).
  • 15 persen PMI mengalami kondisi kerja yang sangat baik seperti diajak umroh/wisata, mendapat bonus, liburan dan memberlakukan PMI seperti keluarga (Dalam 10.000 PMI terdapat 1.500 orang).

Sebagai catatan, estimasi ini bisa berbeda-beda setiap negara penempatan PMI. Seperti, Malaysia jumlah PMI ilegal lebih banyak mengalami kondisi kerja kurang layak, gaji tidak layak, jam kerja berlebih dan tanpa pengekangan daripada Taiwan, Hongkong, Singapura dan Jepang.

Sementara pada PMI legal, baik diberangkatkan oleh swasta maupun pemerintah, tidak ada mengalami kasus penganiayaan, penyekapan dan gaji tidak layak.

Namun, PMI Legal mengalami kondisi kerja dan gaji kurang layak, jam kerja berlebih tanpa pengekangan adalah kasus paling banyak terjadi. Angkanya hampir sama dengan PMI Unprosedural.

Melihat persoalan tersebut di atas, sesungguhnya kebutuhan PMI adalah kehadiran negara untuk memperjuangkan pelindungan hak-hak kerjanya dan meminimalkan kondisi kerja yang tidak layak, serta memperjuangkan gaji yang lebih adil dan tanpa diskriminatif pada pekerja migran.

Ada ketentuan keimigrasian di negara penempatan, ilegal menurut pemerintah Indonesia tetapi legal di negara penempatan. Legal menurut Indonesia, tetapi ilegal menurut negara penempatan.

Maka PMI mau mempertaruhkan dirinya berangkat meski ilegal menurut Indonesia

Sebagian besar PMI berhasil mengubah hidupnya keluar dari kemiskinan. Mereka menjadi manusia unggul karena memiliki etos kerja yang bagus dan wawasan yang luas serta terjadinya transfer knowledge.

Ingat, mereka juga penyumbang devisa terbesar terhadap negara Indonesia dan uang remitansi sangat nyata menyentuh masyarakat.

Fokus penanganan PMI Unprosedural

Seharusnya, pemerintah fokus ke persoalan substantif PMI, yaitu kenapa banyak PMI Ilegal atau unprosedural, sampai angkanya 5 juta orang. Berarti ada sistem yang salah.

Bukan dengan cara menglorifikasi isu TPPO, sehingga menghilangkan substansi pelindungan PMI dan "membunuh" hak rakyat bekerja ke luar negeri.

Tentang PMI Unprosedural, akan tetap terus terjadi apabila tidak dibuat sistem tata kelola yang praktis dan mudah. Selagi sistem pelayanan pelindungan PMI berbelit-belit, ruwet dan proses panjang, maka membuat para pencari kerja akan memilih cara unprosedural.

Sistem yang ada sekarang, keberangkatan PMI sampai 6 bulan bahkan sampai satu tahun karena prosesnya yang lama dan berbelit-belit sehingga menimbulkan pembengkakan biaya.

PMI juga sering terhambat oleh kebijakan dan peraturan yang tidak luwes serta tidak adaptip pada pasar kerja global, bahkan malah mengintervensi negara penempatan tanpa melakukan pembicaraan kedua belah pihak.

Seperti pemberlakuan "zero cost" (bebas biaya) yang tidak memisahkan antara biaya penempatan dengan biaya jati diri.

Kebijakan zero cost ini tidak diterima oleh sebagian besar negara-negara penempatan, seperti Taiwan, Hongkong, Singapura dan berbagai negara lainnya. Kecuali negara-negara kawasan Timur Tengah dan Malaysia menerapkan zero cost pada pekerja domestik.

PMI ilegal juga terbentuk karena tidak adanya sistem pelayanan pada kasus PMI yang kabur dari majikan, overstay, pindah majikan baru dan berbagai kasus lainnya.

PMI unprosedural juga akan tetap nekat dilakukan selagi pemberlakuan pelarangan PMI domestik bekerja ke negara-negara maju kawasan Timur Tengah (seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Qatar dan Kuwait) masih tetap ditutup.

Bekerja ke negara tersebut, selain tanpa ada biaya dikeluarkan, juga tidak mempermasalahkan mereka yang hanya berpendidikan SMP ke bawah.

Begitu juga, selagi penempatan PMI ke Arab Saudi dimonopoli oleh satu asosiasi jasa penyalur tenaga kerja dan pemerintah tidak menciptakan persaingan usaha yang sehat, maka akan menimbulkan kekacauan dan memunculkan penempatan secara unprosedural.

Atas hal tersebut di atas, pembenahan sistem tata kelola PMI semestinya mendapat etensi tinggi juga dari presiden, sama seperti atensi pemberantasan TPPO.

Menata kembali sistem Pelindungan Pekerja Migran Indonesia yang sekarang karut-marut, sehingga terbentuk sistem yang mudah, cepat dan terlindungi.

Presiden semestinya hadir mengerakan stakeholder untuk melakukan optimalisasi penempatan yang melindungi hak-hak PMI. Karena keterbatasan lapangan pekerjaan dalam negeri dan mengerakan bonus demografi agar produktif maka pasar kerja global dioptimalkan.

Atas aksi Satgas TPPO menindak dan mengamankan PMI Unprosedural merupakan salah alamat. Ini bisa berpotensi abuse of power (penyalahgunaan wewenang) karena acauan hukum penindakan perdagangan orang adalah Undang-undang No. 21 tahun 2007.

Kasus PMI Unprosedural adalah kasus maladministrasi ketenagakerjaan, bukan praktik perdagangan orang. Acuan hukumnya adalah Undang-undang No. 18 Tahun 2017.

Penindakannya di bawah Kementerian Tenaga Kerja dan BP2MI dengan melakukan perbantuan dari pihak kepolisian.

Jika pemerintah fokus kepada penindakan penempatan PMI ilegal, semestinya presiden membentuk Satgas khusus tersendiri. Jangan mengunakan atribut Satgas TPPO.

Pasalnya, pelaku atau korban belum tentu merupakan praktik perdagangan orang, tetapi sudah distigmakan ke publik kasus TTPO.

Ini bisa berpotensi seperti "Petrusisasi" kepada masyarakat pencari kerja ke luar negeri.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Demokrat Anggap Ridwan Kamil Cocok Masuk Jakarta, Ungkit Jokowi dari Solo

Demokrat Anggap Ridwan Kamil Cocok Masuk Jakarta, Ungkit Jokowi dari Solo

Nasional
Sekjen PKS Sebut Jokowi Sodorkan Kaesang ke Sejumlah Parpol untuk Maju Pilkada Jakarta

Sekjen PKS Sebut Jokowi Sodorkan Kaesang ke Sejumlah Parpol untuk Maju Pilkada Jakarta

Nasional
PDI-P Nilai Pintu Koalisi Masih Terbuka Meski PKS Usung Anies-Sohibul di Jakarta

PDI-P Nilai Pintu Koalisi Masih Terbuka Meski PKS Usung Anies-Sohibul di Jakarta

Nasional
Tinjau RSUD di Barito Timur, Jokowi Soroti Kurangnya Dokter Spesialis

Tinjau RSUD di Barito Timur, Jokowi Soroti Kurangnya Dokter Spesialis

Nasional
PDN Kena 'Ransomware', Pemerintah Dianggap Tak Mau Belajar

PDN Kena "Ransomware", Pemerintah Dianggap Tak Mau Belajar

Nasional
Jokowi Persilakan KPK Usut Kasus Korupsi Bansos Presiden

Jokowi Persilakan KPK Usut Kasus Korupsi Bansos Presiden

Nasional
PKS Klaim Tolak Tawaran Kursi Bacawagub DKI dari KIM, Pilih Usung Anies-Sohibul

PKS Klaim Tolak Tawaran Kursi Bacawagub DKI dari KIM, Pilih Usung Anies-Sohibul

Nasional
Penangkapan 103 WNA Terkait Kejahatan Siber Berawal dari Imigrasi Awasi Sebuah Vila di Bali

Penangkapan 103 WNA Terkait Kejahatan Siber Berawal dari Imigrasi Awasi Sebuah Vila di Bali

Nasional
Rumah Pensiun Jokowi Mulai Dibangun, Kemensetneg: Presiden Sendiri yang Memilih Lokasi

Rumah Pensiun Jokowi Mulai Dibangun, Kemensetneg: Presiden Sendiri yang Memilih Lokasi

Nasional
Serangan Siber PDN Dinilai Semakin Menggerus Kepercayaan Publik

Serangan Siber PDN Dinilai Semakin Menggerus Kepercayaan Publik

Nasional
Publik Dirugikan 'Ransomware' PDN Bisa Tuntut Perdata Pemerintah

Publik Dirugikan "Ransomware" PDN Bisa Tuntut Perdata Pemerintah

Nasional
KPK Tetapkan 9 Tersangka Korupsi Proyek Pengerukan Alur Pelayaran di 4 Pelabuhan

KPK Tetapkan 9 Tersangka Korupsi Proyek Pengerukan Alur Pelayaran di 4 Pelabuhan

Nasional
Notifikasi Dampak 'Ransomware' PDN Nihil, Sikap Pemerintah Dipertanyakan

Notifikasi Dampak "Ransomware" PDN Nihil, Sikap Pemerintah Dipertanyakan

Nasional
KPK Usut Dugaan Korupsi Proyek Pengerukan Jalur Pelayaran di 4 Pelabuhan

KPK Usut Dugaan Korupsi Proyek Pengerukan Jalur Pelayaran di 4 Pelabuhan

Nasional
Duet Anies-Sohibul Dinilai Tak Realistis, PKS: Ini Pasangan Ideal, Punya Wawasan Global

Duet Anies-Sohibul Dinilai Tak Realistis, PKS: Ini Pasangan Ideal, Punya Wawasan Global

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com