JAKARTA, KOMPAS.com - Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI didesak memastikan agar Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI batal menghapus aturan Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK) untuk pemilihan umum (Pemilu) 2024.
Desakan ini disampaikan koalisi sipil yang mengatasnamakan Masyarakat Indonesia Antikorupsi untuk Pemilu Berintegritas yang mengeklaim terdiri dari 146 lembaga nonprofit, termasuk di antaranya ELSAM (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat), Indonesia Corruption Watch (ICW), dan Transparency International Indonesia (TII).
"Bawaslu harus segera menerbitkan Rekomendasi kepada KPU untuk segera menetapkan kewajiban peserta pemilu menyusun dan melaporkan LPSDK Pemilu 2024," kata perwakilan koalisi, Valentina Sagala, kepada wartawan, Senin (19/6/2023).
Baca juga: Bawaslu Didesak Ambil Langkah Konkret Perjuangkan Transparansi Data Pemilu
Valentina mengatakan, penerbitan rekomendasi itu merupakan salah satu bagian dari tugas dan kewenangan Bawaslu, yakni memastikan terwujudnya penyelenggaraan pemilu yang berkepastian hukum dan berintegritas.
Koalisi juga mendesak agar Bawaslu, KPU, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menggelar rapat tripartit untuk memastikan KPU mengatur kewajiban peserta pemilu menyusun dan melaporkan LPSDK, disertai pengawasan oleh Bawaslu.
"Dalam hal lembaga penyelenggara pemilu tidak menindaklanjuti tuntutan di atas, kami akan mengambil upaya pelaporan/pengaduan ke DKPP," ujar Valentina.
Sebelumnya diberitakan, rencana KPU menghapus LPSDK diungkapkan Koordinator Divisi Teknis Penyelenggaraan Pemilu Idham Holik dalam Rapat Dengar Pendapat di Komisi II DPR RI pada akhir Mei 2023.
Baca juga: Bawaslu Ultimatum KPU, Bakal Adukan ke DKPP jika Tak Buka Akses Silon Pekan Depan
Idham saat itu beralasan bahwa LPSDK dihapus karena tak tercantum secara eksplisit di dalam UU Pemilu.
KPU juga berdalih bahwa dihapusnya LPSDK berkaitan dengan singkatnya masa kampanye Pemilu 2024 yang hanya 75 hari.
Sebagai informasi, aturan mengenai LPSDK sebetulnya sudah menjadi warisan sejak Pemilu 2014.
Dosen hukum kepemiluan Universitas Indonesia (UI), Titi Anggraini mengatakan, penghapusan kebijakan ini bermasalah karena tidak semua kandidat yang bertarung dalam kontestasi memiliki uang yang banyak untuk mendanai kampanyenya.
Dengan tingginya ongkos politik di Indonesia, keterlibatan sumbangan dari pihak ketiga kerapkali dituding sebagai salah satu penyebab korupsi yang terjadi ketika kandidat tersebut terpilih sebagai pejabat.
Baca juga: Penjelasan KPU soal Dihapusnya Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye
"Sangat mungkin ada peserta yang banyak aktivitas kampanyenya tapi tidak jelas pemasukannya dari mana mengingat harta kekayaannya tidak terlalu besar," kata Titi kepada Kompas.com, pada 31 Mei 2023.
"LPSDK ini praktik baik yang mestinya menjadi komitmen semua pihak untuk mewujudkan pemilu bersih dan antikorupsi," ujarnya lagi.
Aspek transparansi ini dinilai krusial karena calon anggota legislatif (caleg) juga tidak diwajibkan melaporkan harta kekayaan sebelum mencalonkan diri.
"Durasi kampanye memang pendek hanya 75 hari, tapi justru karena makin pendek, sangat mungkin peserta pemilu akan jor-joran mengeluarkan belanja kampanye untuk penetrasi pemilih agar di waktu yang sempit bisa optimal mempengaruhi pemilih. Di situ lah krusial dan strategisnya LPSDK," kata Titi Anggraini.
Baca juga: Wajib Lapor Sumbangan Dihapus, Bawaslu Sulit Awasi Aliran Dana Kampanye 2024
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.