Karakteristik feodal itu akan memperparah sistem proporsional tertutup apabila hendak diputuskan untuk diubah.
Jika sistem proporsional terbuka dikhawatirkan akan melanggengkan praktik money politic antar caleg dan pemilih, maka penerapan sistem proporsional tertutup juga tidak terlepas dari praktik money politic di kalangan internal partai. Potensi peningkatan oligarki justru semakin subur ketika pemilu dilaksanakan dengan sistem proporsional tertutup.
Mengubah sistem pemilu tidak menjadi upaya tepat dalam memutus praktik money politic, melainkan perlu adanya perubahan mekanisme terkait dana kampanye di Indonesia. Praktik money politic di internal maupun eksternal partai salah satunya dapat dipangkas melalui pengaturan dana kampanye yang ideal dengan peningkatan dana APBN untuk operasional partai.
Selain peningkatan, perlu diatur mengenai keharusan partai politik yang mendapat perolehan kursi di parlemen untuk mengalokasian sekian persen dana operasionalnya untuk kepentingan kampanye masing-masing anggotanya yang akan diusung. Sedangkan untuk partai politik peserta pemilu yang tidak memiliki perolehan krusi di parlemen, dapat diberikan sumbangan dana kampanye yang jumlahnya merata.
Hal itu dimaksudkan untuk memangkas cost politic yang harus dikeluarkan caleg, sehingga partai tidak harus mencari sumbangan dari pihak swasta. Praktik ini telah diterapkan di beberapa negara seperti Korea Selatan dan Prancis yang melarang tegas perolehan dana kampanye yang berasal dari keuangan swasta.
Hal itu dimaksudkan untuk menekan perkembangkan oligarki.
Sementara itu, terkait politik identitas, perubahan sistem pemilu tidak akan menjawab persoalan tersebut tanpa adanya sistem rekrutmen dan kaderisasi partai yang terbuka dan transparan. Hal ini dimaksudkan agar caleg yang diusung benar-benar orang yang memang memiliki kapabilitas dan tidak bersifat pragmatis semata.
Selain perbaikan politik, perlu juga dilakukan perbaikan sistem uji materiil di MK. Sebagaimana telah disampaikan di atas, sebelumnya MK sudah pernah memutus persoalan penerapan sistem pemilu dan menetapkan sistem proporsional terbuka sebagai landasan pelaksanaan pemilu di Indonesia.
Karena itu, jika kemudian dilakukan permohonan uji materiil yang merupakan kontra dari putusan MK sebelumnya, maka hal ini patut dipertanyakan. Terlebih, jika MK pada akhirnya mengabulkan permohonan perubahan sistem pemilu menjadi proporsional tertutup seperti yang diwacanakan baru-baru ini.
Sebab, dengan begitu MK telah menganulir putusan lembaganya sendiri. Padahal putusan MK, merupakan putusan kelembagaan yang bersifat final dan mengikat.
Terkait hal itu, MK diharapkan dapat segera mengeluarkan putusan yang berorientasi pada prinsip demokrasi dan kedaulatan rakyat, yakni tak lain menetapkan sistem proporsional terbuka sebagai sistem pemilu Indonesia. Putusan MK ini perlu segera diterbitkan guna menciptakan kepastian hukum pelaksanaan pemilu.
Tentu kita tidak ingin pengalaman di 2009 terulang, ketika MK memutuskan permohonan sistem proporsional tepat satu minggu sebelum waktu pemilihan dimulai. Apabila tidak disegerakan, bukan tidak mungkin terjadi gejolak internal partai politik yang hebat menjelang pemilu.
Berkaca pada hal tersebut, perlu untuk segera diatur batasan penyelesaian uji materiil undang-undang di MK sebagai bagian dari revisi UU MK. Hal ini penting guna mempercepat perolehan kepastian hukum, terutama dalam pengujian undang-undang yang berdampak pada sistem penyelenggaraan pemerintahan, seperti halnya pemilu.
Namun apapun yang sedang dipertimbangakan MK saat ini, rakyat berharap agar MK mampu memberikan putusan yang tidak semata-mata memberi kepastian hukum tetapi juga keadilan yang mengarah pada kemajuan demokrasi serta kedaulatan rakyat.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.