Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

MK Diminta Pertimbangkan Konteks Politik Terkini dalam Putuskan Sistem Pemilu

Kompas.com - 31/05/2023, 20:31 WIB
Ardito Ramadhan,
Sabrina Asril

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Eksekutif Para Syndicate Ari Nurcahyo menilai, Mahkamah Konstitusi (MK) perlu turut memerhatikan konteks politik terkini dalam memutuskan judicial review terkait sistem pemilihan umum (pemilu).

Ari menyatakan, konteks situasi politik terkini mesti diperhatikan oleh MK karena putusan mengenai sistem pemilu bakal berpengaruh terhadap tahapan Pemilu 2024 yang sedang berjalan.

"Bukan hanya persoalan yuridis konstitusional saja, tapi perlu mempertimbangkan konteks politik hari ini bahwa putusan MK dibuat pada saat tahapan pemilu sedang berlangsung," kata Ari dalam acara diskusi di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta, Rabu (31/5/2023).

Ari menilai, ada tiga opsi yang bisa diambil MK dalam memutus judicial review terkait sistem pemilu, yakni mempertahankan sistem pemilu proporsional terbuka, mengubahnya menjadi proporsional tertutup, atau sistem campuran.

Baca juga: Denny Indrayana: Jika PK Moeldoko Dikabulkan, Demokrat Dibajak dan Anies Dijegal

Ari berharap, putusan MK kelak tidak jauh berbeda dengan ketentuan yang berlaku saat ini, yakni sistem pemilu proporsional terbuka.

Menurut dia, perubahan sistem pemilu bakal menimbulkan kekacauan karena partai-partai politik juga telah mendaftarkan calon anggota legislatif yang bakal berlaga di Pemilu 2024.

"Kalaupun harus diubah, itu nanti untuk Pemilu 2029, (supaya) menjamin bagaimana tahapan pemilu yang sudah berlangsung ini tidak terganggu dan dapat menimbulkan kekacauan politik," ujar Ari.

Putusan MK terhadap gugatan uji materi Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) tengah dinanti publik.

Gugatan yang teregistrasi dengan nomor 114/PPU/XX/2022 itu menyoal Pasal 168 tentang sistem pemilu.

Baca juga: Profil Denny Indrayana, Pakar Hukum yang Ribut soal Anies Bakal Dijegal dan Isu Putusan MK

Lewat gugatan tersebut, enam pemohon, yakni Demas Brian Wicaksono yang merupakan kader PDI Perjuangan, lalu Yuwono Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, dan Nono Marijono, meminta MK mengubah sistem pemilu dari proporsional terbuka menjadi proporsional tertutup.

Belakangan, beredar kabar MK bakal mengabulkan gugatan tersebut dan mengubah sistem pemilu menjadi proporsional tertutup.

Desas-desus tersebut diungkap oleh mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Denny Indrayana.

Denny tak mengungkap pasti sumber informasi tersebut. Pakar hukum tata negara itu hanya memastikan, kabar tersebut dia dapat dari informan yang kredibel, patut dipercaya, dan bukan dari hakim MK.

"Informasi yang saya terima tentu sangat kredibel dan karenanya patut dipercaya. Karena itu pula, saya putuskan untuk melanjutkan kepada khalayak luas sebagai bentuk pengawasan publik agar MK hati-hati dalam memutuskan perkara yang sangat penting dan strategis tersebut," kata Denny dalam keterangan tertulis, Selasa (30/5/2023).

Baca juga: Posisi MK yang Kian Terkunci untuk Tolak Proporsional Tertutup

Kabar ini langsung dibantah oleh MK. Juru Bicara MK Fajar Laksono mengatakan, proses persidangan atas gugatan uji materi UU Nomor 7 Tahun 2017 yang menyoal sistem pemilu belum selesai dan masih berjalan.

"Yang pasti, sesuai agenda persidangan terakhir kemarin, tanggal 31 Mei mendatang penyerahan kesimpulan para pihak," kata Fajar saat dimintai tanggapannya, Minggu (28/5/2023).

Selanjutnya, proses persidangan baru akan masuk putusan majelis hakim. Jadwal sidang putusan itu pun, kata Fajar, masih belum ditetapkan.

"Setelah itu, perkara baru akan dibahas dan diambil keputusan oleh Majelis Hakim dalam RPH (rapat permusyawaratan hakim). Selanjutnya, akan diagendakan sidang pengucapan putusan," ujarnya.

Melalui sistem proporsional terbuka, pemilih bisa langsung memilih calon anggota legislatif (caleg) yang diusung oleh setiap partai politik peserta pemilu.

Dalam sistem ini, surat suara memuat keterangan logo partai politik, berikut nama kader parpol calon anggota legislatif. Pemilih dapat mencoblos langsung nama caleg, atau mencoblos parpol peserta pemilu di surat suara.

Nantinya, penetapan calon terpilih ditentukan berdasarkan suara terbanyak. Sistem proporsional terbuka di Indonesia digunakan pada Pemilu Legislatif 2004, 2009, 2014, dan 2019.

Baca juga: Putusan MK soal Sistem Pemilu Diduga Bocor, Mahfud MD Minta Polisi Usut

Sedangkan, dalam sistem proporsional tertutup, pemilih tidak langsung memilih calon anggota legislatif, tetapi hanya partai politik peserta pemilu.

Surat suara sistem pemilu proporsional tertutup hanya memuat logo partai politik tanpa rincian caleg.

Sementara, calon anggota legislatif dipilih ditentukan oleh partai. Oleh partai, nama-nama caleg disusun berdasarkan nomor urut.

Calon terpilih ditentukan berdasarkan nomor urut. Jika partai mendapatkan dua kursi, maka calon terpilih adalah nomor urut 1 dan 2.

Sistem pemilu proporsional tertutup pernah diterapkan pada Pemilu 1955, Pemilu Orde Baru, dan Pemilu 1999.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang


Terkini Lainnya

Prabowo Pertimbangkan Saran Luhut Jangan Bawa Orang 'Toxic' ke Pemerintahan

Prabowo Pertimbangkan Saran Luhut Jangan Bawa Orang "Toxic" ke Pemerintahan

Nasional
Berkunjung ke Aceh, Anies Sampaikan Salam dari Pimpinan Koalisi Perubahan

Berkunjung ke Aceh, Anies Sampaikan Salam dari Pimpinan Koalisi Perubahan

Nasional
Komnas KIPI: Kalau Saat Ini Ada Kasus TTS, Bukan karena Vaksin Covid-19

Komnas KIPI: Kalau Saat Ini Ada Kasus TTS, Bukan karena Vaksin Covid-19

Nasional
Jika Diduetkan, Anies-Ahok Diprediksi Bakal Menang Pilkada DKI Jakarta 2024

Jika Diduetkan, Anies-Ahok Diprediksi Bakal Menang Pilkada DKI Jakarta 2024

Nasional
Jokowi Perlu Kendaraan Politik Lain Usai Tak Dianggap PDI-P

Jokowi Perlu Kendaraan Politik Lain Usai Tak Dianggap PDI-P

Nasional
Kaesang dan Gibran Dianggap Tak Selamanya Bisa Mengekor Jokowi

Kaesang dan Gibran Dianggap Tak Selamanya Bisa Mengekor Jokowi

Nasional
Hasil Rekapitulasi di Papua Berubah-ubah, KPU Minta MK Hadirkan Ahli Noken

Hasil Rekapitulasi di Papua Berubah-ubah, KPU Minta MK Hadirkan Ahli Noken

Nasional
Tak Dianggap Kader PDI-P, Jokowi dan Keluarga Diprediksi Gabung Golkar

Tak Dianggap Kader PDI-P, Jokowi dan Keluarga Diprediksi Gabung Golkar

Nasional
Prabowo Harap Semua Pihak Rukun meski Beda Pilihan Politik

Prabowo Harap Semua Pihak Rukun meski Beda Pilihan Politik

Nasional
Jokowi Sebut Penyusunan Kabinet Mendatang Hak Prerogatif Prabowo

Jokowi Sebut Penyusunan Kabinet Mendatang Hak Prerogatif Prabowo

Nasional
Temui Warga Aceh Usai Pilpres, Cak Imin Janji Lanjutkan Perjuangan

Temui Warga Aceh Usai Pilpres, Cak Imin Janji Lanjutkan Perjuangan

Nasional
Timnas Akan Hadapi Guinea untuk Bisa Lolos ke Olimpiade, Jokowi: Optimistis Menang

Timnas Akan Hadapi Guinea untuk Bisa Lolos ke Olimpiade, Jokowi: Optimistis Menang

Nasional
KPK Sebut Penyidik Bisa Jemput Paksa Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor

KPK Sebut Penyidik Bisa Jemput Paksa Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor

Nasional
TNI AD Mulai Tanam Padi di Merauke, KSAD: Selama Ini Hasilnya Kurang Baik

TNI AD Mulai Tanam Padi di Merauke, KSAD: Selama Ini Hasilnya Kurang Baik

Nasional
KPK Mengaku Bisa Tangkap Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor Kapan Saja

KPK Mengaku Bisa Tangkap Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor Kapan Saja

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com