Rezim Reformasi, siap tak siap, mau tak mau, harus menggantikan. Era baru akhirnya hadir. Demokrasi kembali dilirik. Pemerintahan yang bersih diidolakan.
Pun Secara internasional, Indonesia kala itu sedang ada dalam ritme yang sesuai. Negara adidaya tidak lagi memainkan kartu perang dingin, yaitu sebutan periode terjadinya ketegangan politik dan militer antara Dunia Barat, yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan sekutu NATO-nya, dengan Dunia Komunis, yang dipimpin oleh Uni Soviet beserta sekutunya - Pakta Warsawa.
Isu Kiri dan Kanan selanjutnya menjadi melemah. Soeharto tak terlalu dijadikan sebagai tumpuan lagi oleh Amerika Serikat, sehingga kejatuhannya pun dianggap karena sudah masanya.
Ibarat keluar dari era penjajahan, partai-partai politik baru bermunculan. Demokratisasi dan good governance menjadi platform politik baru. Legislatif dibongkar ulang. Pemilu yang bebas diadakan.
Dan kata Reformasi menjadi kata ajaib yang menghiasi deretan kalimat-kalimat yang keluar dari mulut para politisi dan aktifis kala itu.
Kini sudah seperempat abad berlalu dari era transisi menuju Reformasi tersebut. Kata-kata Reformasi mulai hilang dari mulut para elite politik dan elite ekonomi, jika tak mau dikatakan semakin sayup-sayup bahkan nyaris hilang sama sekali.
Masih banyak pekerjaan rumah yang tersisa. Hingga hari ini, koruptor masih leluasa berkeliaran.
Dulu koruptor dituding hanya berada di satu lingkaran, yakni lingkaran Istana. Kini koruptor ada di semua lingkaran.
Jadi sangat wajar tidak ada yang mampu memenjarakan Soeharto, meskipun Soeharto selalu dituduh melakukan korupsi paling besar dalam sejarah bangsa ini.
Karena sejatinya tuduhan Soeharto korupsi tidak diniatkan untuk mengadili Soeharto, tapi hanya untuk memberi embarkasi politis bahwa di era reformasi, siapapun boleh dan bisa korupsi, bukan hanya Soeharto dan konco-konconya.
Walhasil, lembaga antirasuah negeri ini, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) samakin hari semakin banyak saja melakukan penangkapan dan melakukan penetapan tersangka.
Bahkan kini KPK mulai dipertanyakan raison d'être-nya alias mulai diutak-atik untuk kepentingan ‘Soeharto-Soeharto’ baru.
Memang tidak ada data pasti tentang perbandingan korupsi dua rezim, tapi pernyataan Mahfud MD tahun 2017, yang tetap ia pertahankan setelah menjadi menteri layak dijadikan patokan.
Tahun itu, Mahfud pernah mengatakan bahwa korupsi setelah Orde Baru jauh lebih gila dibanding korupsi di era Orde Baru. Dan setelah beliau menjabat sebagai menteri, Mahfud dengan tegas mengatakan bahwa ia tidak akan mengubah pernyataannya.
Pada 2021 lalu, di Universitas Gajah Mada (UGM), Mahfud menanggapi pernyataannya tiga tahun sebelumnya soal korupsi pasca-Orde Baru, yang sempat viral.
"Saudara, saya katakan, saya tidak akan meralat. Karena kenyataannya sekarang ini saja, sekarang ini hari ini, korupsi itu jauh lebih gila dari zaman Orde Baru," ucapnya.
Sementara di ranah politik, partai-partai politik semakin berkibar. Arti lainnya, bobrok-bobrok baru demokrasi bermunculan ke permukaan di mana suara rakyat bisa dimanfaatkan untuk sesuatu yang justru jauh dari urusan keberpihakan kepada rakyat bahkan menyakiti rasa keadilan rakyat, sebagaimana yang sesungguhnya sudah tertulis secara apik pada sila kelima ideologi bangsa ini, yaitu Pancasila.
Oligarki yang kurang konstruktif dengan bebasnya berkeliaran. Mereka mengkavling-kavling tanah ibu pertiwi beserta sumber daya alam (SDA) yang terkandung di bawahnya sesuka hati mereka.
Imbasnya, sarang-sarang koruptor terus bertambah, seiring dengan mekarnya sarang mafia-mafia politik.
Sementara globalisasi terus bergulir. Negara lain melesat dengan berbagai macam terobosan. Pascamenjadi anggota WTO, China pelan-pelan menyalip Jerman dan Jepang, lalu mengukuhkan diri sebagai negara dengan kue ekonomi nomor dua di dunia setelah Amerika Serikat.
Bahkan dengan ukuran Purchasing Power Parity, China sudah melampaui Amerika Serikat. Purchasing Power Parity adalah konsep ekonomi makro yang seringkali digunakan untuk membandingkan produktivitas serta standar hidup antar negara.
Dalam dunia usaha, berbagai ide bisnis baru mendadak menjadi gigantis bisnis baru. Di saat negara ini terlena dengan isu demokratisasi dan good governance yang tak kunjung terealisasi secara optimal, era disrupsi teknologi datang. Generasi baru pun muncul. Generasi planetary dengan karakter peradaban digital.