Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jannus TH Siahaan
Doktor Sosiologi

Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Peneliti di Indonesian Initiative for Sustainable Mining (IISM). Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.

Renungan Seperempat Abad Reformasi

Kompas.com - 22/05/2023, 10:33 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PADA era kepemimpinan Presiden Soeharto dan Orde Baru, demokrasi diakui dalam makna yang terbatas alias sangat minimalis.

Pada masa Orde Baru itu, ada dua partai politik yang diakui dan satu Golongan Karya. Partai yang sangat banyak di era sebelumnya, yaitu Orde Lama, difusi menjadi dua.

Maka lahirlah Partai Demokrasi Indonesia (PDI) sebagai fusi dari kalangan nasionalis, dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sebagai fusi dari kalangan religius.

Di tambah satu Golongan Karya (Golkar) yang tidak dianggap sebagai partai politik, tapi memainkan peran sebagai Partai Politik.

Apapun sebutannya, Golongan Karya telah menjadi salah satu kekuatan politik Soeharto selama 32 tahun kejayaannya sebagai pemimpin negeri ini, di samping Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dan Birokrasi.

Berbagai developmental engineering dilakukan. Ideologi negarapun dimonopoli oleh rezim. Pancasila diinstitusionalisasi.

Berbagai hal diseragamkan. Semuanya dijalankan atas nama satu istilah ‘sakral’, yaitu pembangunan.

Dan secara internasional, Soeharto memang mendapat momentum yang pas. Soeharto memainkan kartu pas pada musim yang pas.

Di pelataran Asia Tenggara, ada Mahathir Mohamad di Malaysia, ada Lee Kuan Yew di Singapura, ada Ferdinand Marcos di Filipina, dan rezim yang hampir mirip di banyak negara Amerika Latin ketika itu.

Mereka mengobarkan platform politik developmentalisme dan mengekang serta mengendalikan demokrasi.

Tidak bisa tidak, secara ekonomi terjadi pertumbuhan yang luar biasa. Wajah-wajah kota berganti menjadi modern. Desa-desa dialiri listrik, dibangun banyak jalan, dan sekolah-sekolah baru.

Teori tahap pertumbuhan ekonomi yang ditulis Walt Whitman Rostow diperjuangkan sedemikian rupa.

Sebagaimana yang kita ketahui kemudian, Walt Rostow yang adalah Profesor ekonomi dan politikus yang bekerja untuk National Security Advisor Amerika Serikat pada masa pemerintahan Presiden Johnson, memang ditugaskan untuk merumuskan teori pembangunan alternatif nonkomunis untuk menandingi popularitas teori kiri kritis, yakni teori ketergantungan (dependency theory) kala itu, terutama besutan Sosiolog Jerman-Amerika bernama Andre Gunder Frank.

Sebagai gambaran sederhana, teori ketergantungan adalah teori yang menjelaskan relasi yang tidak adil antara negara maju (center) dan negara berkembang plus negara miskin (underdeveloped).

Pencetus awalnya adalah Raul Prebisch (non marxist), yang menyoroti ketidakakuratan teori "comparative advantages" dalam perdagangan global yang justru merugikan negara berkembang dan negara miskin. Teori ini melahirkan stategi pembangunan bernama strategi substitusi impor.

Lalu dilanjutkan oleh penganut teori marxist, seperti Andre Gunder Frank, yang menyoroti relasi eksploitatif antara negara-negara maju (center) dengan negara miskin dan negara berkembang (peri-peri)

Sampai menjelang akhir era Soeharto, Indonesia digadang-gadang sedang bersiap-siap untuk take off alias tinggal landas. Tahun 1996, Indonesia bahkan mencatatkan pertumbuhan ekonomi nyaris 8 persen (7,8 persen).

Namun teori Rostow memang tak sempurna, karena menoleransi rezim militeristik otoritarianisme sebagai instrumen untuk melawan pengaruh komunisme.

Banyak pengkritik yang lahir karena ketidaksempurnaan pembangunan di banyak negara baru yang menggunakan pendekatan Rostow.

Secara faktual masa itu, ketimpangan ekonomi justru kian melebar. Demokrasi dianaktirikan. Kantong-kantong kemiskinan bertambah saat pertumbuhan dan orang kaya baru yang juga semakin banyak.

Penentang dan pengkritik disingkirkan. Generasi baru di-engineering agar sesuai platform politik rezim yang sedang berkuasa.

Namun setiap manusia ada masanya. Setiap rezim pun demikian. Tahun 1998, Soeharto menemukan akhir dari masa kekuasaannya, tepatnya bulan Mei 1998, atau seperempat abad yang lalu.

Rezim Reformasi, siap tak siap, mau tak mau, harus menggantikan. Era baru akhirnya hadir. Demokrasi kembali dilirik. Pemerintahan yang bersih diidolakan.

Pun Secara internasional, Indonesia kala itu sedang ada dalam ritme yang sesuai. Negara adidaya tidak lagi memainkan kartu perang dingin, yaitu sebutan periode terjadinya ketegangan politik dan militer antara Dunia Barat, yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan sekutu NATO-nya, dengan Dunia Komunis, yang dipimpin oleh Uni Soviet beserta sekutunya - Pakta Warsawa.

Isu Kiri dan Kanan selanjutnya menjadi melemah. Soeharto tak terlalu dijadikan sebagai tumpuan lagi oleh Amerika Serikat, sehingga kejatuhannya pun dianggap karena sudah masanya.

Ibarat keluar dari era penjajahan, partai-partai politik baru bermunculan. Demokratisasi dan good governance menjadi platform politik baru. Legislatif dibongkar ulang. Pemilu yang bebas diadakan.

Dan kata Reformasi menjadi kata ajaib yang menghiasi deretan kalimat-kalimat yang keluar dari mulut para politisi dan aktifis kala itu.

Kini sudah seperempat abad berlalu dari era transisi menuju Reformasi tersebut. Kata-kata Reformasi mulai hilang dari mulut para elite politik dan elite ekonomi, jika tak mau dikatakan semakin sayup-sayup bahkan nyaris hilang sama sekali.

Masih banyak pekerjaan rumah yang tersisa. Hingga hari ini, koruptor masih leluasa berkeliaran.

Dulu koruptor dituding hanya berada di satu lingkaran, yakni lingkaran Istana. Kini koruptor ada di semua lingkaran.

Jadi sangat wajar tidak ada yang mampu memenjarakan Soeharto, meskipun Soeharto selalu dituduh melakukan korupsi paling besar dalam sejarah bangsa ini.

Karena sejatinya tuduhan Soeharto korupsi tidak diniatkan untuk mengadili Soeharto, tapi hanya untuk memberi embarkasi politis bahwa di era reformasi, siapapun boleh dan bisa korupsi, bukan hanya Soeharto dan konco-konconya.

Walhasil, lembaga antirasuah negeri ini, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) samakin hari semakin banyak saja melakukan penangkapan dan melakukan penetapan tersangka.

Bahkan kini KPK mulai dipertanyakan raison d'être-nya alias mulai diutak-atik untuk kepentingan ‘Soeharto-Soeharto’ baru.

Memang tidak ada data pasti tentang perbandingan korupsi dua rezim, tapi pernyataan Mahfud MD tahun 2017, yang tetap ia pertahankan setelah menjadi menteri layak dijadikan patokan.

Tahun itu, Mahfud pernah mengatakan bahwa korupsi setelah Orde Baru jauh lebih gila dibanding korupsi di era Orde Baru. Dan setelah beliau menjabat sebagai menteri, Mahfud dengan tegas mengatakan bahwa ia tidak akan mengubah pernyataannya.

Pada 2021 lalu, di Universitas Gajah Mada (UGM), Mahfud menanggapi pernyataannya tiga tahun sebelumnya soal korupsi pasca-Orde Baru, yang sempat viral.

"Saudara, saya katakan, saya tidak akan meralat. Karena kenyataannya sekarang ini saja, sekarang ini hari ini, korupsi itu jauh lebih gila dari zaman Orde Baru," ucapnya.

Sementara di ranah politik, partai-partai politik semakin berkibar. Arti lainnya, bobrok-bobrok baru demokrasi bermunculan ke permukaan di mana suara rakyat bisa dimanfaatkan untuk sesuatu yang justru jauh dari urusan keberpihakan kepada rakyat bahkan menyakiti rasa keadilan rakyat, sebagaimana yang sesungguhnya sudah tertulis secara apik pada sila kelima ideologi bangsa ini, yaitu Pancasila.

Oligarki yang kurang konstruktif dengan bebasnya berkeliaran. Mereka mengkavling-kavling tanah ibu pertiwi beserta sumber daya alam (SDA) yang terkandung di bawahnya sesuka hati mereka.

Imbasnya, sarang-sarang koruptor terus bertambah, seiring dengan mekarnya sarang mafia-mafia politik.

Sementara globalisasi terus bergulir. Negara lain melesat dengan berbagai macam terobosan. Pascamenjadi anggota WTO, China pelan-pelan menyalip Jerman dan Jepang, lalu mengukuhkan diri sebagai negara dengan kue ekonomi nomor dua di dunia setelah Amerika Serikat.

Bahkan dengan ukuran Purchasing Power Parity, China sudah melampaui Amerika Serikat. Purchasing Power Parity adalah konsep ekonomi makro yang seringkali digunakan untuk membandingkan produktivitas serta standar hidup antar negara.

Dalam dunia usaha, berbagai ide bisnis baru mendadak menjadi gigantis bisnis baru. Di saat negara ini terlena dengan isu demokratisasi dan good governance yang tak kunjung terealisasi secara optimal, era disrupsi teknologi datang. Generasi baru pun muncul. Generasi planetary dengan karakter peradaban digital.

Gen Y dan Z semakin dewasa dan lahir. Populasinya terus bertambah. Kini tercatat generasi Y sudah lebih dari 100 jutaan.

Jika ditambah generasi Z, maka jumlahnya lebih dari setengah populasi nasional. Mereka tidak terlalu terikat secara historis dengan masa lalu dan cerita-cerita perjuangan beraroma konflik di masa lalu.

Generasi transformers itu umumnya cenderung tidak antusias lagi dengan kisah heroik masa lalu.

Mereka dibesarkan di era teknologi baru, yakni era Revolusi Industri 4.0. Internet dan ponsel menjadi penyuluknya.

Generasi baru lahir dengan gaya hidup dan kebiasaan yang jauh berbeda dengan generasi pendahulunya.

Bahkan sebagian darinya sudah tidak lagi memahami apa itu Reformasi, dan kurang aware dengan bahaya korupsi yang bisa merusak sendi-sendir kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sistem pendidikan kita pun belum memiliki alat penawar yang mujarab dalam menanamkan jiwa korsa antikorupsi anak muda kita.

Kursi berbayar di kampus-kampus semakin banyak. Rektor dan pebajat perguruan tinggi mulai terang-terangan melakukan transaksi koruptif di daerah kekuasaannya, terutama jual beli bangku perguruan tinggi, jual beli karya ilmiah, dan jual beli gelar, dari doktor honororis causa sampai gelar profesor kehormatan.

Lantas, apakah tujuan Reformasi telah kita raih? Tentu. Kita kini memiliki lebih banyak kebebasan dibanding era-era sebelumnya.

Namun seiring dengan itu, kita juga memiliki lebih banyak koruptor dibanding era terdahulu, lebih banyak oligar dibanding era lalu, lebih banyak partai politik yang mementingkan dirinya ketimbang pemilihnya dibanding era terdahulu.

Kemudian, lebih banyak radikalisme dibanding era terdahulu, lebih banyak kerusakan lingkungan dibanding era terdahulu, lebih banyak kebohongan dibanding era terdahulu, serta lebih banyak lupa pada sejarah dibanding era terdahulu.

Kini kita lebih terobsesi pada infrastruktur dibanding manusia era Orde Baru, lebih terobsesi dengan stabilitas tanpa teding aling-aling dibanding Orde Baru, lebih terobsesi dengan "presidential single show" ketimbang Orde Baru, dan lebih terjangkiti "mentalitas korup" dibanding Orde Baru.

Semua ini mengukuhkan fakta bahwa memori bangsa ini memang pendek. Bung Karno telah mengingatkan kita untuk jangan sekali-sekali melupakan sejarah, karena kalau dilupakan, sejarah kebodohan dan kecerobohan akan terulang.

"Once in a while a new government initiates a program to put power to better use, but its success or failure never really proves anything. In science, experiments are designed, checked, altered, repeated, but not in politics. We have no real cumulative knowledge. History tells us nothing. That's the tragedy of a political reformer", tulis Burrhus Frederic Skinner atau lebih dikenal dengan B.F. Skinner, seorang Psikolog terkenal dari Amerika Serikat.

Dan pemilihan presiden tahun 2024 nanti, semestinya menjadi ajang pembuktian untuk kita semua terkait dengan pertanyaan apakah kita akan melupakan sejarah yang justru membuat Reformasi menjadi tragedi, seperti yang ditulis Skinner?

Atau justru mengambil pelajaran darinya agar tidak terulang lagi, sembari membuktikan sekuat tenaga bahwa Reformasi adalah keputusan politik yang benar, yang diambil pada waktu yang tepat, dan dipikul oleh generasi yang tepat.

Cuma masalahnya, hingga hari ini belum terlalu jelas terdengar suara-suara Reformasi digelorakan kembali oleh para calon presiden kita.

Semuanya nyatanya lebih senang bersuara untuk menggaet dukungan dari para "bohir-bohir" politik di satu sisi dan berpesta pora dengan pembangunan "kesan" di platform media sosial di sisi lain.

Semoga pemilihan presiden mendatang bisa menjadi tonggak baru yang memperjelas posisi bangsa ini atas raihan reformasi seperempat abad lalu. Mari sama-sama kita tunggu.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 7 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 7 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Gunung Raung Erupsi, Ma'ruf Amin Imbau Warga Setempat Patuhi Petunjuk Tim Penyelamat

Gunung Raung Erupsi, Ma'ruf Amin Imbau Warga Setempat Patuhi Petunjuk Tim Penyelamat

Nasional
Cak Imin: Bansos Cepat Dirasakan Masyarakat, tapi Tak Memberdayakan

Cak Imin: Bansos Cepat Dirasakan Masyarakat, tapi Tak Memberdayakan

Nasional
Cak Imin: Percayalah, PKB kalau Berkuasa Tak Akan Lakukan Kriminalisasi...

Cak Imin: Percayalah, PKB kalau Berkuasa Tak Akan Lakukan Kriminalisasi...

Nasional
Gerindra Lirik Dedi Mulyadi untuk Maju Pilkada Jabar 2024

Gerindra Lirik Dedi Mulyadi untuk Maju Pilkada Jabar 2024

Nasional
Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati soal Susunan Kabinet, Masinton: Cuma Gimik

Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati soal Susunan Kabinet, Masinton: Cuma Gimik

Nasional
Kementerian KP Perkuat Standar Kompetensi Pengelolaan Sidat dan Arwana

Kementerian KP Perkuat Standar Kompetensi Pengelolaan Sidat dan Arwana

Nasional
Bupati Sidoarjo Berulang Kali Terjerat Korupsi, Cak Imin Peringatkan Calon Kepala Daerah Tak Main-main

Bupati Sidoarjo Berulang Kali Terjerat Korupsi, Cak Imin Peringatkan Calon Kepala Daerah Tak Main-main

Nasional
Wapres Ajak Masyarakat Tetap Dukung Timnas U-23 demi Lolos Olimpiade

Wapres Ajak Masyarakat Tetap Dukung Timnas U-23 demi Lolos Olimpiade

Nasional
Gibran Ingin Konsultasi dengan Megawati terkait Susunan Kabinet

Gibran Ingin Konsultasi dengan Megawati terkait Susunan Kabinet

Nasional
Soal Dukungan PKB untuk Khofifah, Cak Imin: Kalau Daftar, Kita Sambut

Soal Dukungan PKB untuk Khofifah, Cak Imin: Kalau Daftar, Kita Sambut

Nasional
Jubir Sebut Luhut Hanya Beri Saran ke Prabowo soal Jangan Bawa Orang 'Toxic'

Jubir Sebut Luhut Hanya Beri Saran ke Prabowo soal Jangan Bawa Orang "Toxic"

Nasional
Muslimat NU Kirim Bantuan Kemanusiaan Rp 2 Miliar ke Palestina

Muslimat NU Kirim Bantuan Kemanusiaan Rp 2 Miliar ke Palestina

Nasional
Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang 'Toxic', Projo: Nasihat Bagus

Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang "Toxic", Projo: Nasihat Bagus

Nasional
Buktikan Kinerja Unggul, Pertamina Hulu Energi Optimalkan Kapabilitas Perusahaan

Buktikan Kinerja Unggul, Pertamina Hulu Energi Optimalkan Kapabilitas Perusahaan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com