PADA era kepemimpinan Presiden Soeharto dan Orde Baru, demokrasi diakui dalam makna yang terbatas alias sangat minimalis.
Pada masa Orde Baru itu, ada dua partai politik yang diakui dan satu Golongan Karya. Partai yang sangat banyak di era sebelumnya, yaitu Orde Lama, difusi menjadi dua.
Maka lahirlah Partai Demokrasi Indonesia (PDI) sebagai fusi dari kalangan nasionalis, dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sebagai fusi dari kalangan religius.
Di tambah satu Golongan Karya (Golkar) yang tidak dianggap sebagai partai politik, tapi memainkan peran sebagai Partai Politik.
Apapun sebutannya, Golongan Karya telah menjadi salah satu kekuatan politik Soeharto selama 32 tahun kejayaannya sebagai pemimpin negeri ini, di samping Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dan Birokrasi.
Berbagai developmental engineering dilakukan. Ideologi negarapun dimonopoli oleh rezim. Pancasila diinstitusionalisasi.
Berbagai hal diseragamkan. Semuanya dijalankan atas nama satu istilah ‘sakral’, yaitu pembangunan.
Dan secara internasional, Soeharto memang mendapat momentum yang pas. Soeharto memainkan kartu pas pada musim yang pas.
Di pelataran Asia Tenggara, ada Mahathir Mohamad di Malaysia, ada Lee Kuan Yew di Singapura, ada Ferdinand Marcos di Filipina, dan rezim yang hampir mirip di banyak negara Amerika Latin ketika itu.
Mereka mengobarkan platform politik developmentalisme dan mengekang serta mengendalikan demokrasi.
Tidak bisa tidak, secara ekonomi terjadi pertumbuhan yang luar biasa. Wajah-wajah kota berganti menjadi modern. Desa-desa dialiri listrik, dibangun banyak jalan, dan sekolah-sekolah baru.
Teori tahap pertumbuhan ekonomi yang ditulis Walt Whitman Rostow diperjuangkan sedemikian rupa.
Sebagaimana yang kita ketahui kemudian, Walt Rostow yang adalah Profesor ekonomi dan politikus yang bekerja untuk National Security Advisor Amerika Serikat pada masa pemerintahan Presiden Johnson, memang ditugaskan untuk merumuskan teori pembangunan alternatif nonkomunis untuk menandingi popularitas teori kiri kritis, yakni teori ketergantungan (dependency theory) kala itu, terutama besutan Sosiolog Jerman-Amerika bernama Andre Gunder Frank.
Sebagai gambaran sederhana, teori ketergantungan adalah teori yang menjelaskan relasi yang tidak adil antara negara maju (center) dan negara berkembang plus negara miskin (underdeveloped).
Pencetus awalnya adalah Raul Prebisch (non marxist), yang menyoroti ketidakakuratan teori "comparative advantages" dalam perdagangan global yang justru merugikan negara berkembang dan negara miskin. Teori ini melahirkan stategi pembangunan bernama strategi substitusi impor.
Lalu dilanjutkan oleh penganut teori marxist, seperti Andre Gunder Frank, yang menyoroti relasi eksploitatif antara negara-negara maju (center) dengan negara miskin dan negara berkembang (peri-peri)
Sampai menjelang akhir era Soeharto, Indonesia digadang-gadang sedang bersiap-siap untuk take off alias tinggal landas. Tahun 1996, Indonesia bahkan mencatatkan pertumbuhan ekonomi nyaris 8 persen (7,8 persen).
Namun teori Rostow memang tak sempurna, karena menoleransi rezim militeristik otoritarianisme sebagai instrumen untuk melawan pengaruh komunisme.
Banyak pengkritik yang lahir karena ketidaksempurnaan pembangunan di banyak negara baru yang menggunakan pendekatan Rostow.
Secara faktual masa itu, ketimpangan ekonomi justru kian melebar. Demokrasi dianaktirikan. Kantong-kantong kemiskinan bertambah saat pertumbuhan dan orang kaya baru yang juga semakin banyak.
Penentang dan pengkritik disingkirkan. Generasi baru di-engineering agar sesuai platform politik rezim yang sedang berkuasa.
Namun setiap manusia ada masanya. Setiap rezim pun demikian. Tahun 1998, Soeharto menemukan akhir dari masa kekuasaannya, tepatnya bulan Mei 1998, atau seperempat abad yang lalu.