Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 21/05/2023, 15:17 WIB
Nirmala Maulana Achmad,
Novianti Setuningsih

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Presiden ke-2 RI, Soeharto mempersingkat sehari kunjungannya ke Mesir dalam rangka menghadiri acara Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G15.

Soeharto kembali ke Indonesia pada 14 Mei 1998 melalui Bandara Kairo menuju Jakarta.

Sehari sebelumnya, 13 Mei 1998, kerusuhan pecah di Jakarta dan beberapa daerah lain. Krisis moneter menjadi salah satu penyebabnya. Massa kala itu menuntut reformasi.

Soeharto lalu tiba di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, saat kerusuhan makin memuncak.

“Ada kabar presiden akan mendarat di Bandung, mengingat keadaan sedang tidak menentu pada waktu itu, tetapi di pesawat, Pak Harto memutuskan landing di Halim Perdanakusuma,” kata Yusril Ihza Mahendra saat diwawancarai Kompas.com, Senin (15/5/2023).

Baca juga: 25 Tahun Reformasi: Saat Soeharto Kembali dari Mesir, Jakarta seperti Lautan Api dari Atas Pesawat

Yusril, yang saat itu menjabat sebagai staf Sekretariat Negara (Setneg), ditugasi untuk menjaga Kantor Setneg saat Soeharto ke Kairo, Mesir.

“Duduk-duduk di tangga Setneg, juga beberapa kali menyelenggarakan press conference menerangkan situasi yang terjadi pada waktu itu,” ujar Yusril.

Isu kudeta

Banyak spekulasi yang berkembang terkait apa yang akan terjadi setelah Soeharto tiba di Tanah Air dari Kairo. Isu akan lengser makin berhembus saat itu.

Salah satu yang didengar Yusril adalah isu tentang kudeta dari Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) saat itu, Jenderal (Purn) Wiranto.

“Spekulasi bahwa kalau Pak Harto itu pulang ke Tanah Air, akan menyerahkan kekuasaan pada Panglima TNI, Pak Wiranto, itu spekulasi yang beredar dan berkembang pada waktu itu,” kata Yusril.

Baca juga: Naskah Pidato 21 Mei 1998, Yusril Ungkap Alasan Soeharto Pilih “Berhenti” ketimbang “Mundur”

Saat itu, politikus Golkar sekaligus tokoh Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), Tjahjo Kumolo, menyerahkan surat semacam Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) kepada Yusril.

“Rencananya, kalau Pak Harto mendarat di Halim, katanya Pak Wiranto akan menyerahkan (surat) itu kepada Pak Harto untuk diditandatangani, jadi semacam Bung Karno dulu pada pas G30S,” ujar Yusril.

Seakan tak percaya, Yusril memastikan kepada Tjahjo Kumolo terkait kebenaran surat itu.

“Saya katakan (tanyakan) pada Pak Cahyo dan dia bilang, ‘iya, ini dari Pak Wiranto’,” kata Yusril.

“Belakangan, saya tidak tahu persis apakah memang betul itu dari Pak Wiranto atau tidak, tidak ada yang bisa konfirmasi kepada beliau sehingga timbul spekulasi seolah-olah semacam keinginan kudeta pada waktu itu,” ujarnya lagi.

Halaman:


Rekomendasi untuk anda
28th

Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!

Syarat & Ketentuan
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Verifikasi akun KG Media ID
Verifikasi akun KG Media ID

Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.

Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.

Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com