Output itu akan menjadi asset recovery, sehingga biaya yang terlalu besar untuk penegakan hukum bisa sedikit dikurangi.
Selama ini negara terbebani biaya untuk penanganan perkara dalam menghadapi tindak kejahatan ekonomi atau keuangan.
Namun hasil pengembalian dari penyelesaian kasus kejahatan tidak sepadan dengan biaya yang dikeluarkan, terutama biaya perkara yang selama ini menjadi batu sandungan.
Karena aset yang dirampas negara tidak signifikan dengan perbuatan pelaku kejahatan. Memberantas korupsi butuh ongkos, itulah yang selama terabaikan oleh kita.
Menariknya lagi, jika RUU itu dijalankan, di dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset disebutkan negara tetap bisa merampas harta milik tersangka atau terdakwa kasus kejahatan yang meninggal atau buron sehingga dapat dieksekusi.
Namun realitas kearah percepatan itu kelihatnya akan butuh waktu. Surat Presiden (Surpres) terkait Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset Tindak Pidana tidak dibacakan saat rapat paripurna pembukaan Masa Persidangan V Tahun Sidang 2022/2023, Selasa (16/5/2023).
Padahal, surpres itu telah dikirimkan pemerintah dan diterima DPR pada 4 Mei 2023 lalu. Ketua DPR Puan Maharani yang memimpin rapat paripurna tidak membacakan surpres RUU Perampasan Aset dengan alasan ada mekanisme di DPR yang belum selesai.
Menurut Presiden Jokowi, RUU itu sudah didorong-dorong, tapi tidak rampung-rampung. Bagaimana tidak, jika RUU itu cepat disahkan, maka akan terjadi pemiskinan massal di parlemen, eksekutif dan yudikatif, karena diyakini di sanalah episentrum korupsi.
Makanya sampai sekarang RUU itu mangkrak adanya!
Apakah artinya pernyataan Prabowo benar, jika tokoh Indonesia banyak "Omdo", Omongan Doang!
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.