Langkah kedepan yang harus dipertimbangkan adalah soal kondite atau kredibilitas para wakil partai. Apakah punya riwayat atau indikasi buruk.
Komitmen perjanjian LHKPN selama ini tak membantu dan lebih sekadar formalitas belaka.
Sandera masa lalu adalah parasit yang menggegoroti tokoh parpol dan bahkan koalisi besar tempat bernaungnya. Simbiosa parasitisme hanya memberi keuntungan sepihak pada parasit yang mendompleng pada induk semangnya.
Semestinya ini menjadi pertimbangan utama, jangan karena nama besar dan kepiawaian politiknya membutakan partai dengan memilih orang yang tepat.
Kita berharap "laundry ELY" akan buka 24 jam di pemerintahan kita kedepan. Ini menjadi langkah progresif bagi upaya mendorong pemerintahan lebih bersih dan pelaksanan demokrasi yang lebih prosedural, daripada sekadar pencitraan.
Terkait fenomena “bongkar kasus” korupsi yang sarat politisasi ini, Pengamat dari Sabang Merauke Circle, Syahganda Nainggolan, punya amsal yang konkret dalam hal perburuan koruptor di masa pemerintahan Joko Widodo.
Menurut dia, menangkap koruptor saat Jokowi berkuasa, semudah berburu di kebun binatang. Mudahnya perburuan itu, maka berlaku like and dislike sebagai unsur penting penentu siapa yang akan dibidik. Ini sebagai pandangan kritisnya pada rezim Jokowi.
Menariknya adalah ketika sasaran perburuan itu diarahkan pada penangkapan Johnny G Plate oleh Kejaksaan Agung, Surya Paloh bahkan menantang agar semua aliran dana diungkap. Siapa bersembunyi di balik gundukan uang bancakan Rp 8 triliun itu.
Tantangannya bahkan melebar pada permintaan agar semua kementerian dan lembaga negara lainnya diselidiki secara adil untuk melihat kebobrokan di semua tingkat ELY terkait korupsi.
Apalagi korupsi telah merajalela dan menjadi gulma yang tumbuh bebas di mana saja. Seperti pernyataan Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md.
“Sekarang saudara noleh ke mana saja ada korupsi kok. Noleh ke hutan, ada korupsi di hutan, noleh ke udara, ke pesawat udara, ada korupsi di Garuda (Indonesia), asuransi ada, koperasi korupsi, semuanya korupsi. Nah, ini sebenarnya mengapa dulu kita melakukan reformasi?” ucap Mahfud.
Barangkali para koruptor akan jera jika tak hanya pasal untuk mengirimkan ke bui saja yang dijadikan ancaman, termasuk dikebiri hak-hak politiknya dan dimiskinkan adalah cara membuat jera.
Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset Tindak Pidana atau RUU Perampasan Aset dinilai menjadi salah satu solusi bagi para penjahat kerah putih, kejahatan keuangan, seperti korupsi, penggelapan, atau penyelenggara negara yang memanipulasi laporan harta kekayaan berpikir ulang.
RUU ini akan menjadi payung hukum bagi pemerintah dalam menelusuri aset atau uang hasil tindak pidana pencucian uang, tindak pidana korupsi, hingga tindak pidana ekonomi hingga kejahatan keuangan.
RUU Perampasan Aset sangat penting dalam pencegahan tindak pidana pencucian uang. Penyebabnya adalah RUU itu memberikan ruang bagi penyidik untuk menerapkan pendekatan mengikuti aliran uang atau aset hasil kejahatan (follow the money). Sehingga mengoptimalkan penarikan kembali uang negara.