JUDUL tulisan ini, saya kutip dari buku tulisan Baharuddin Jusuf (BJ) Habibie berjudul “Detik-Detik yang Menentukan – Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi” yang diterbitkan THC Madiri, Kemang Selatan, Jakarta, tahun 2006.
Kalimat itu bagian dari dialog antara Presiden (waktu itu) Bacharuddin Jusuf Habibie dengan Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) Letnan Jenderal TNI Prabowo Subianto di Wisma Negara Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat, 22 Mei 1998.
Peristiwa ini menarik untuk saya tulis kembali karena pada Jumat, 22 Mei 1998 itu, saya berada di Kawasan kompleks Istana dan Sekretariat Negara, Jakarta.
Saat itu saya selesai meliput acara pengumuman susunan kabinet baru oleh Presiden (waktu itu) BJ Habibie di Istana Merdeka. Usai pengumuman, saya bersama beberapa teman duduk-duduk di dekat Wisma Negara.
Ketika duduk-duduk di tempat itu, dua anggota Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) minta kami untuk meninggal wilayah tempat kami duduk.
Saya berpindah ke ruang wartawan di Gedung Sekretariat Negara, sambil mengamati suasana di Kawasan Wisma Negara.
"……Dialog antara saya dan Pangkostrad, dan sebagaimana biasa kami bertemu, ia berbicara dalam Bahasa Inggris,” tulis Habibie (hal 101).
“Ini suatu penghinaan bagi keluarga saya dan keluarga mertua saya Presiden Soeharto, Anda telah memecat saya sebagai Pangkostrad,” demikian kata Prabowo waktu itu kepada BJ Habibie.
“Saya menjawab, Anda tidak dipecat, tapi jabatan Anda diganti,” kata Habibie.
“Mengapa?” tanya Prabowo.
Menjawab pertanyaan itu, Habibie mengatakan seperti ini: “Saya mendapat laporan dari Pangab (Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto), bahwa ada gerakan pasukan Kostrad menuju Jakarta, yakni Kuningan (tempat tinggal Habibie dan keluarganya) dan Istana Merdeka.”
“Saya bermaksud untuk mengamankan presiden,” kata Prabowo.
“Itu adalah tugas Pasukan Pengamanan Presiden yang bertanggungjawab langsung pada Pangab dan bukan tugas Anda, jawab saya,” demikian kata Habibie.
“Presiden apa Anda? Anda naif,” jawab Prabowo dengan nada marah.
“Masa bodoh, saya Presiden dan harus membereskan keadaan bangsa dan negara yang sangat memprihatinkan, jawab saya,” tutur Habibie.
“Atas nama ayah saya, Prof Soemitro Djojohadikusumo dan ayah mertua saya, Presiden Soeharto, saya minta Anda memberi saya tiga bulan untuk menguasai pasukan Kostrad, “ mohon Prabowo.
“Saya menjawab dengan nada tegas, tidak. Sampai matahari terbenam Anda sudah harus menyerahkan semua pasukan kepada Pangkostrad yang baru,” kata Habibie.
“Berikan saya tiga minggu atau tiga hari saja untuk masih dapat menguasai pasukan saya,” pinta Prabowo lagi.
“Saya langsung menjawab, tidak. Sebelum matahari terbenam semua pasukan sudah harus diserahkan kepada Pangkostrad yang baru. Saya bersedia mengangkat Anda menjadi duta besar di mana saja,” begitu ujar Habibie.
“Yang saya kehendaki adalah pasukan saya,“ pinta Prabowo lagi.