Jika memaksakan diri “menunjuk” dari kalangan elite partai koalisi pendukungnya saja akan menimbulkan perasaan iri. Maka pilihannya mau tidak mau adalah semua calon yang telah masuk dalam bursa pilpres 2024.
Barangkali Jokowi berada dalam situasi yang serba salah. Jika hanya berdiam pada satu posisi akan sulit untuk mendapatkan dua tujuannya yang terlihat bertolak belakang, antara menjaga keberlanjutan dan atau tetap membuka diri sebagai King Maker dengan tujuan mempertahankan popularitas dan persepsi kinerja pemerintahannya.
Sebenarnya publik yang kritis, apalagi para pengamat dan para politisi, paham kemana arah pilihan Jokowi ketika mengungkap kriteria capres harus mumpuni untuk menghadapi kondisi sosial ekonomi Indonesia.
Jokowi menyebut, tokoh yang akan menggantikannya harus memiliki “jam terbang tinggi” dan “saling melengkapi.”
Menyebut nama langsung tentu tidak etis karena akan kentara, apalagi presiden juga berasal dari salah satu parpol pemegang kuris dominan di parlemen.
Dalam posisi menjaga independensi itulah dua kaki ini menjadi sulit, antara legacy dan King Maker.
Langkah politik Jokowi harus sangat hati-hati. Memang ada kebutuhan untuk menjaga performa pemerintahan, tetap menjaga hubungan baik dengan partai pengusungnya terdahulu, menjaga jaringan koalisinya, dan menjaga simpati publik pada pemerintahannya.
Dan di antara keempat itu, yang krusial sampai di akhir masa pemerintahananya, adalah menjaga performa pemerintahan, dalam wujud pilihan netral.
Jika itu dimaksudkan lebih pada mempertahankan popularitas dan persepsi kinerja pemerintahannya, sekaligus mewujudkan warisan-legacy berupa pemerintahan yang baik.
Jokowi tak mau bermain langsung di pusaran arus, seolah menjadi bagian dari kelompok yang berusaha mempertahankan hegemoni kuasa.
Meskipun posisinya sekarang berkat dukungan partai politik dominan. Karena pilihan-pilihan politik yang sekarang sudah mulai terlihat mengarah kemana, akan berkaitan dengan frekuensi politik kandidat yang dipilih.
Maka wajar jika Jusuf Kalla buka suara soal silaturahmi Lebaran Jokowi dan para ketum parpol untuk membicarakan pembangunan, namun menyiratkan ganjalan, karena sikap “politiknya” bisa dimaknai ada apa-apanya.
Memang politik tidak mudah dan tidak pula gratis, akan ada banyak pembicaraan yang sangat ribet dengan barisan “penyumbang donasi politik”, yang seringkali justu bertindak sebagai “pengatur” arah politik dan kebijakan.
Begitu juga dengan penguasa partai dengan koalisinya yang bisa “mengarahkan” pilihan politiknya, bahkan lebih jauh “memaksakan” kehendak politiknya.
Semuanya bisa menimbulkan polarisasi. Parpol tentu akan mengikut barisan dengan kemungkinan gerbong koalisi paling kuat.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.