Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Hanif Sofyan
Wiraswasta

Pegiat literasi di walkingbook.org

Rumitnya Menjaga "Legacy" Vs "King Maker"

Kompas.com - 11/05/2023, 13:22 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DALAM politik, peristiwa biasa saja bisa dipolitisasi, apalagi momen politik, atau semi politik. Maka politik melalui medium makanan bisa ditafsir melalui gastrodiplomacy.

Nasi goreng saja bisa menjadi simbol penanda politik. Politisi berusaha menyamarkan atau meng-eufimisme peristiwa politik yang sensitif dengan simbol sepiring "nasi goreng".

Maka sekadar undangan untuk ngobrol di kereta api, karena yang terlibat adalah Presiden pemenang pemilu dan rivalnya, jelas saja menjadi cerita "sejam di kereta api".

Pendek kata semua peristiwa bisa dibawa ke arah politik tinggal bagaimana menggorengnya.

Termasuk acara silaturahmi Lebaran para ketua umum parpol bersama presiden di Istana dengan agenda membahas soal pembangunan bangs, bukan pembicaraan politik!

Namun manakala satu dari enam ketum parpol “ditinggal” karena alasan cuma sekadar pembicaraan rencana pembangunan, maka bisa diterjemahkan “ada apa-apanya” dan dipolitisasi. Meski sebenarnya karena sudah punya koalisi sendiri yang “sulit” diganggu lagi.

Apalagi, Surya Paloh mengaku merasa ditinggalkan oleh Jokowi karena peristiwa tersebut. Dan tak lagi menganggap Nasdem sebagai parpol koalisi pendukung pemerintah.

Meskipun Surya Paloh mengaku memahami langkah politik tersebut, dalam kapasitas pemimpin koalisi partai-partai pemerintahan.

Jusuf Kalla, Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI, sebagai seorang politisi senior merasa bahwa ketidakhadiran Surya Paloh sebagai ketum Partai Nasdem, parpol koalisi pemerintah saat ini karena tak diundang dalam pertemuan tersebut langsung menimbulkan gelagat politik yang tidak biasa.

Sekali lagi rivalitas politik di atas panggung dalam konteks dramaturgi Hoffman ternyata sulit dihilangkan.

Seperti kritik yang sudah-sudah, inisiatif Presiden tidak mengundang Nasdem juga terkait dengan peran aktifnya yang terlihat lebih intens dibandingkan pendahulunya, baik Susilo Bambang Yudhoyono maupun Megawati.

Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa Jokowi seperti memainkan dua kaki, yang berpijak di tempat berlainan.

Jokowi sedang bermain dua tarikan antara dirinya menjadi King Maker Pilpres 2024, sekaligus mewujudkan warisan pemerintahan yang baik. Karena suksesi Pilpres 2024, bukan sekadar soal melanjutkan pembangunan saja, namun lebih dari itu juga persoalan legacy.

Siapa pewaris yang dianggap sejalan dengan visi, misi, termasuk soal kepentingan politik di sebaliknya.

Dibutuhkan frekuensi politik yang sama, maka seperti dikhawatirkan Jusuf Kalla, presiden juga sedang berusaha ikut “mempersiapkan” dan “memilih” calon dari kandidat yang masuk.

Jika memaksakan diri “menunjuk” dari kalangan elite partai koalisi pendukungnya saja akan menimbulkan perasaan iri. Maka pilihannya mau tidak mau adalah semua calon yang telah masuk dalam bursa pilpres 2024.

Barangkali Jokowi berada dalam situasi yang serba salah. Jika hanya berdiam pada satu posisi akan sulit untuk mendapatkan dua tujuannya yang terlihat bertolak belakang, antara menjaga keberlanjutan dan atau tetap membuka diri sebagai King Maker dengan tujuan mempertahankan popularitas dan persepsi kinerja pemerintahannya.

Sebenarnya publik yang kritis, apalagi para pengamat dan para politisi, paham kemana arah pilihan Jokowi ketika mengungkap kriteria capres harus mumpuni untuk menghadapi kondisi sosial ekonomi Indonesia.

Jokowi menyebut, tokoh yang akan menggantikannya harus memiliki “jam terbang tinggi” dan “saling melengkapi.”

Menyebut nama langsung tentu tidak etis karena akan kentara, apalagi presiden juga berasal dari salah satu parpol pemegang kuris dominan di parlemen.

Dalam posisi menjaga independensi itulah dua kaki ini menjadi sulit, antara legacy dan King Maker.

Langkah politik Jokowi harus sangat hati-hati. Memang ada kebutuhan untuk menjaga performa pemerintahan, tetap menjaga hubungan baik dengan partai pengusungnya terdahulu, menjaga jaringan koalisinya, dan menjaga simpati publik pada pemerintahannya.

Dan di antara keempat itu, yang krusial sampai di akhir masa pemerintahananya, adalah menjaga performa pemerintahan, dalam wujud pilihan netral.

Jika itu dimaksudkan lebih pada mempertahankan popularitas dan persepsi kinerja pemerintahannya, sekaligus mewujudkan warisan-legacy berupa pemerintahan yang baik.

Jokowi tak mau bermain langsung di pusaran arus, seolah menjadi bagian dari kelompok yang berusaha mempertahankan hegemoni kuasa.

Meskipun posisinya sekarang berkat dukungan partai politik dominan. Karena pilihan-pilihan politik yang sekarang sudah mulai terlihat mengarah kemana, akan berkaitan dengan frekuensi politik kandidat yang dipilih.

Maka wajar jika Jusuf Kalla buka suara soal silaturahmi Lebaran Jokowi dan para ketum parpol untuk membicarakan pembangunan, namun menyiratkan ganjalan, karena sikap “politiknya” bisa dimaknai ada apa-apanya.

Memang politik tidak mudah dan tidak pula gratis, akan ada banyak pembicaraan yang sangat ribet dengan barisan “penyumbang donasi politik”, yang seringkali justu bertindak sebagai “pengatur” arah politik dan kebijakan.

Begitu juga dengan penguasa partai dengan koalisinya yang bisa “mengarahkan” pilihan politiknya, bahkan lebih jauh “memaksakan” kehendak politiknya.

Semuanya bisa menimbulkan polarisasi. Parpol tentu akan mengikut barisan dengan kemungkinan gerbong koalisi paling kuat.

Ketika Presiden meletakkan kaki karena pertimbangan kekhawatiran rivalitas politiknya dapat menjadi ancaman, tentu makin menunjukkan perannya sebagai King Maker yang bertindak menafikan netralitas pilihan politiknya.

Realitas saat ini adalah contoh kongkret, bagaimana kebijakan dua kaki itu diperlihatkan. Seolah diarahkan pada frekuensi kelompok tertentu.

Apalagi dalam layer-layer politik yang dipenuhi dengan konsesi, kesepakatan ketika memutuskan untuk memilih calon, mendukung calon dan bergabung dalam sebuah koalisi.

Banyak yang menjadi sebab munculnya suara-suara kritis seperti halnya Jusuf Kalla. Politik menawarkan jebakan janji-janji sandera politik, konsekuensi politik berbayar.

Apakah itu kursi menteri, atau kepemimpinan di lembaga tinggi negara yang strategis. Belum apa-apa, baru tingkat PDKT, langsung pada komitmen, “siapa akan mendapat apa”.

Konsekuensi presiden yang dipilih rakyat harus bekerja dengan dukungan dari semua kelompok, termasuk oposisi yang harus bertindak sebagai pengkritik positif demi pembangunan, bukan memainkan jurus King Maker secara masif.

Fragmen politik kita yang dipenuhi intrik, persekongkolan, kekerasan, kecurangan dari sejak elitenya hingga pendukung fanatiknya, ketika masa memilih calon dan berikhtiar menjadi pemenang, toh pada akhirnya akan kembali pada situasi dan kondisi colling down.

Berakhir pada keintiman di kereta, makan nasi goreng bersama, berkuda di Istana, dan politik yang memainkan banyak momentum.

Akhirnya hanya ada pendukung yang gusar, gigit jari, sambil bertanya, jadi apa gunanya bertikai gara-gara politik, jika ujungnya koalisi, konsolidasi, konsesi.

Kini dalam ambiguitas pernyataan Jokowi yang kerap mengingatkan potensi galaunya kondisi ekonomi kita pun, kebijakan memainkan jurus legacy dan King Maker harus dilakukan dengan sangat hati-hati agar tidak menimbulkan polarisasi.

Dan seperti permintaan Jusuf Kalla, “Presiden seharusnya seperti Ibu Mega, SBY. Itu (ketika jabatan) akan berakhir, maka tidak terlalu jauh melibatkan diri dalam suka atau tidak suka dalam perpolitikan. Supaya lebih demokratis lah,” kata Jusuf Kalla di kawasan Brawijaya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Sabtu (6/5/2023).

Permintaan JK tersebut dinilai wajar oleh Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah. Bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar tidak terlibat terlalu jauh dalam campur tangan urusan politik jelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.

Agar netralitas dan dinamikanya tidak bercampur dengan kekuatan politik tertentu yang bisa menganggu soliditas.

Tapi politik tetaplah politik, bahkan permintaan JK kemudian juga dimaknai bahwa bisa saja JK menjadi pihak yang berada di belakang bakal capres Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) Anies Baswedan sehingga mengeluarkan kritik pada Jokowi.

Sebab, Jokowi selama ini dianggap menjadi antitesa Anies, begitu pula sebaliknya.

Politik memang rumit, apapun bisa dipolitisir, tergantung bagaimana cara menggorengnya saja. Bagaimana dengan Anda?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Penyidik KPK Enggan Terima Surat Ketidakhadiran Gus Muhdlor

Penyidik KPK Enggan Terima Surat Ketidakhadiran Gus Muhdlor

Nasional
Di Puncak Hari Air Dunia Ke-32, Menteri Basuki Ajak Seluruh Pihak Tingkatkan Kemampuan Pengelolaan Air

Di Puncak Hari Air Dunia Ke-32, Menteri Basuki Ajak Seluruh Pihak Tingkatkan Kemampuan Pengelolaan Air

Nasional
Ketum PGI Tagih Janji SBY dan Jokowi untuk Selesaikan Masalah Papua

Ketum PGI Tagih Janji SBY dan Jokowi untuk Selesaikan Masalah Papua

Nasional
Gus Muhdlor Kirim Surat Absen Pemeriksaan KPK, tetapi Tak Ada Alasan Ketidakhadiran

Gus Muhdlor Kirim Surat Absen Pemeriksaan KPK, tetapi Tak Ada Alasan Ketidakhadiran

Nasional
PPP Minta MK Beri Kebijakan Khusus agar Masuk DPR Meski Tak Lolos Ambang Batas 4 Persen

PPP Minta MK Beri Kebijakan Khusus agar Masuk DPR Meski Tak Lolos Ambang Batas 4 Persen

Nasional
Sidang Sengketa Pileg Kalteng Berlangsung Kilat, Pemohon Dianggap Tak Serius

Sidang Sengketa Pileg Kalteng Berlangsung Kilat, Pemohon Dianggap Tak Serius

Nasional
Pemerintahan Baru dan Tantangan Transformasi Intelijen Negara

Pemerintahan Baru dan Tantangan Transformasi Intelijen Negara

Nasional
Tegur Pemohon Telat Datang Sidang, Hakim Saldi: Kalau Terlambat Terus, 'Push Up'

Tegur Pemohon Telat Datang Sidang, Hakim Saldi: Kalau Terlambat Terus, "Push Up"

Nasional
KPK Sebut Keluarga SYL Sangat Mungkin Jadi Tersangka TPPU Pasif

KPK Sebut Keluarga SYL Sangat Mungkin Jadi Tersangka TPPU Pasif

Nasional
Timnas Kalah Lawan Irak, Jokowi: Capaian hingga Semifinal Layak Diapresiasi

Timnas Kalah Lawan Irak, Jokowi: Capaian hingga Semifinal Layak Diapresiasi

Nasional
Kunker ke Sumba Timur, Mensos Risma Serahkan Bansos untuk ODGJ hingga Penyandang Disabilitas

Kunker ke Sumba Timur, Mensos Risma Serahkan Bansos untuk ODGJ hingga Penyandang Disabilitas

Nasional
KPK Kembali Panggil Gus Muhdlor sebagai Tersangka Hari Ini

KPK Kembali Panggil Gus Muhdlor sebagai Tersangka Hari Ini

Nasional
Teguran Hakim MK untuk KPU yang Dianggap Tak Serius

Teguran Hakim MK untuk KPU yang Dianggap Tak Serius

Nasional
Kuda-kuda Nurul Ghufron Hadapi Sidang Etik Dewas KPK

Kuda-kuda Nurul Ghufron Hadapi Sidang Etik Dewas KPK

Nasional
Laba Bersih Antam Triwulan I-2024 Rp 210,59 Miliar 

Laba Bersih Antam Triwulan I-2024 Rp 210,59 Miliar 

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com