"Banyak dari mereka yang tidak bisa maju karena izin dari suami, dari bapak, dari tokoh yang dituakan dari keluarga," kata Saras kemarin.
Di samping minimnya dukungan sekitar, juga banyaknya peran domestik yang secara sosial dibebankan kepada perempuan, struktur yang sama juga membatasi perempuan untuk bisa berdaulat secara ekonomi dan finansial.
Baca juga: Bawaslu, DKPP, KPU Segera Bahas Opsi Revisi Aturan yang Kurangi Caleg Perempuan
Hal-hal ini menghambat perempuan untuk bisa leluasa berkecimpung dalam politik praktis, sekalipun jika yang bersangkutan memiliki kapasitas mumpuni untuk itu. Apalagi, ongkos politik di negara ini terkenal cukup mahal.
"Maka, harapannya adalah dengan kebijakan afirmatif (mendorong keterwakilan 30 persen perempuan lewat UU Pemilu). Undang-undang yang berlaku seharusnya tidak dipatahkan dengan aturan di bawahnya, yaitu Peraturan KPU," ujar Saras yang juga anggota Kaukus Perempuan Politik Indonesia.
Toh, dalam perjalanan demokrasi bangsa, partai politik terbukti perlahan sanggup memenuhi keterwakilan caleg 30 persen perempuan.
Berdasarkan riset Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI), pada 2004, capaian persentase keterwakilan caleg perempuan baru 29 persen.
Pada 2009, jumlah itu naik jadi 33,6 persen, sebelum naik lagi ke angka 37,6 persen pada 2014. Terakhir, 2019, proporsi itu semakin baik dengan adanya 40 persen perempuan.
Baca juga: Aktivis Ancam Gugat PKPU yang Turunkan Kuota Caleg Perempuan ke MA
Sayang, Pemilu 2004 hingga 2019 belum berhasil mengirim 30 persen perempuan ke parlemen, melainkan hanya 11,8 persen (2004), 18 persen (2009), 17 persen (2014), dan 20 persen (2019).
Ini lah yang membuat para perempuan pegiat pemilu dan aktivis kesetaraan gender meradang dengan aturan baru KPU.
Keterwakilan perempuan di parlemen sangat krusial agar produk hukum yang diterbitkan lebih inklusif dari perspektif gender. Dan, keterwakilan perempuan yang cukup di parlemen hanya dimungkinkan dengan keterwakilan perempuan yang cukup sejak tahap pencalonan.
Saras menyoroti, dengan 20 persen perempuan di DPR RI pun, Senayan masih dikuasai laki-laki. Para pimpinan fraksi, komisi, mayoritas didominasi laki-laki. Tak banyak pula perempuan yang bercokol di posisi bergengsi di partai politiknya.
Baca juga: Rawan Sengketa, KPU Didesak Segera Revisi Aturan yang Bisa Kurangi Caleg Perempuan
"Ya sudah pasti tidak bisa memberikan pengaruh dan dampak terhadap (penyusunan) kebijakan. Infrastruktur, pembangunan jalan tol atau misalnya jembatan penyeberangan yang ramah ibu hamil kan butuh ada perspektif (gender)," ujarnya memberi contoh.
"Adanya RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak itu, kalau tidak ibu-ibu dan perempuan yang bersuara, maka akan sulit mempertahankannya. Bahkan, menambahkan cuti hamil, cuti melahirkan itu butuh perspektif perempuan," tambah keponakan Prabowo Subianto itu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.