JAKARTA, KOMPAS.com - Langkah cepat ditempuh sejumlah lembaga penyelenggara pemilu setelah hujan kritik menerpa Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI akibat menerbitkan aturan baru yang mengancam jumlah caleg perempuan pada Pemilu 2024.
Pada Selasa (9/5/2023) malam, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) bersama Bawaslu dan KPU menggelar rapat untuk mengupayakan revisi segera atas aturan baru ini.
Aturan baru ini termuat dalam Pasal 8 ayat (2) Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 tentang pencalonan anggota DPR RI, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
KPU mengatur pembulatan ke bawah jika penghitungan 30 persen keterwakilan perempuan menghasilkan angka desimal kurang dari koma lima.
Sebagai misal, jika di suatu dapil terdapat 4 kursi maka jumlah 30 persen keterwakilan perempuannya adalah 1,2
Karena angka di belakang desimal kurang dari 5 maka berlaku pembulatan ke bawah. Akibatnya, keterwakilan perempuan dari total 4 kursi di dapil itu cukup hanya 1 orang dan itu dianggap sudah memenuhi syarat.
Padahal, 1 dari 4 caleg setara 25 persen saja, yang artinya belum memenuhi ambang minimum keterwakilan perempuan 30 persen sebagaimana dipersyaratkan UU Pemilu.
Aturan ini dinilai bakal berdampak ke sedikitnya 684 caleg perempuan di 38 daerah pemilihan (dapil) DPR RI berkursi 4, 7, dan 8. Jika menggunakan aturan baru, ambang minimum keterwakilan perempuan di dapil-dapil itu turun ke angka 25, 29, dan 25 persen.
Padahal, memastikan keterwakilan caleg 30 persen perempuan bukan soal yang mudah. Kebijakan afirmatif ini berangkat dari kesadaran bahwa perempuan masih tertinggal setelah puluhan tahun Indonesia merdeka, ujar pegiat pemilu sekaligus aktivis perempuan Wahidah Suaib.
Itu artinya, perlu lebih banyak perempuan di posisi pengambil kebijakan. Maka, UU Pemilu harus lebih ramah perempuan dan mendorong lebih banyak perempuan menjadi caleg. Beleid yang diharapkan ini akhirnya terbit pada 2003.
UU Pemilu terkini yang terbit pada 2017 juga masih memuat semangat yang sama pada Pasal 245, yaitu keterwakilan caleg perempuan harus memenuhi proporsi 30 persen.
Peraturan KPU Nomor 6 Tahun 2018 soal pencalegan Pemilu 2019 lalu pun masih menerapkan hal itu dengan teknis penghitungan pembulatan ke atas, bukan ke bawah seperti aturan saat ini.
"Ini gerakan reformasi elektoral, program advokasi bertahun-tahun," kata Wahidah yang pernah duduk sebagai komisioner Bawaslu RI, Minggu (7/3/2023).
Menjawab tantangan sosial demi kebijakan inklusif
Anggota DPR RI fraksi Gerindra, Rahayu Saraswati, menyebut bahwa kebijakan afirmatif semacam itu diperlukan karena sulitnya perempuan ikut berkontestasi dalam politik praktis.
Ini tidak terlepas dari struktur patriarki yang masih membelenggu kehidupan sosial dan budaya di Indonesia.
"Banyak dari mereka yang tidak bisa maju karena izin dari suami, dari bapak, dari tokoh yang dituakan dari keluarga," kata Saras kemarin.
Di samping minimnya dukungan sekitar, juga banyaknya peran domestik yang secara sosial dibebankan kepada perempuan, struktur yang sama juga membatasi perempuan untuk bisa berdaulat secara ekonomi dan finansial.
Hal-hal ini menghambat perempuan untuk bisa leluasa berkecimpung dalam politik praktis, sekalipun jika yang bersangkutan memiliki kapasitas mumpuni untuk itu. Apalagi, ongkos politik di negara ini terkenal cukup mahal.
"Maka, harapannya adalah dengan kebijakan afirmatif (mendorong keterwakilan 30 persen perempuan lewat UU Pemilu). Undang-undang yang berlaku seharusnya tidak dipatahkan dengan aturan di bawahnya, yaitu Peraturan KPU," ujar Saras yang juga anggota Kaukus Perempuan Politik Indonesia.
Toh, dalam perjalanan demokrasi bangsa, partai politik terbukti perlahan sanggup memenuhi keterwakilan caleg 30 persen perempuan.
Berdasarkan riset Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI), pada 2004, capaian persentase keterwakilan caleg perempuan baru 29 persen.
Pada 2009, jumlah itu naik jadi 33,6 persen, sebelum naik lagi ke angka 37,6 persen pada 2014. Terakhir, 2019, proporsi itu semakin baik dengan adanya 40 persen perempuan.
Sayang, Pemilu 2004 hingga 2019 belum berhasil mengirim 30 persen perempuan ke parlemen, melainkan hanya 11,8 persen (2004), 18 persen (2009), 17 persen (2014), dan 20 persen (2019).
Ini lah yang membuat para perempuan pegiat pemilu dan aktivis kesetaraan gender meradang dengan aturan baru KPU.
Keterwakilan perempuan di parlemen sangat krusial agar produk hukum yang diterbitkan lebih inklusif dari perspektif gender. Dan, keterwakilan perempuan yang cukup di parlemen hanya dimungkinkan dengan keterwakilan perempuan yang cukup sejak tahap pencalonan.
Saras menyoroti, dengan 20 persen perempuan di DPR RI pun, Senayan masih dikuasai laki-laki. Para pimpinan fraksi, komisi, mayoritas didominasi laki-laki. Tak banyak pula perempuan yang bercokol di posisi bergengsi di partai politiknya.
"Ya sudah pasti tidak bisa memberikan pengaruh dan dampak terhadap (penyusunan) kebijakan. Infrastruktur, pembangunan jalan tol atau misalnya jembatan penyeberangan yang ramah ibu hamil kan butuh ada perspektif (gender)," ujarnya memberi contoh.
"Adanya RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak itu, kalau tidak ibu-ibu dan perempuan yang bersuara, maka akan sulit mempertahankannya. Bahkan, menambahkan cuti hamil, cuti melahirkan itu butuh perspektif perempuan," tambah keponakan Prabowo Subianto itu.
https://nasional.kompas.com/read/2023/05/10/07504231/merevisi-aturan-baru-kpu-demi-merawat-keadilan-gender-di-parlemen