JAKARTA, KOMPAS.com - Menggunakan kaus hitam bertuliskan "Tolak PKPU Pasal 10 Ayat 8", para aktivis perempuan yang tergabung dalam aliansi Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan mendatangi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI, Senin (8/5/2023).
Mereka menyampaikan tuntutannya atas Pasal 8 ayat (2) Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 10 Tahun 2023 yang mengancam jumlah keterwakilan calon anggota legislatif (caleg) perempuan pada Pemilu 2024.
Perwakilan Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan Valentina Sagala menyebut Bawaslu perlu turun tangan dan menjalankan fungsi pengawasannya atas penerbitan aturan yang dinilai tak selaras dengan Pasal 245 UU Pemilu.
"Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan menuntut Bawaslu untuk menjalankan perannya dalam melakukan pengawasan tahapan penyelenggaraan pemilu dalam waktu 2x24 jam," ujar dia dalam jumpa pers, Senin.
Baca juga: Aturan KPU yang Bisa Kurangi Caleg Perempuan Rupanya Hasil Rapat dengan DPR
“Pengaturan KPU melanggar ketentuan Pasal 245 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu," lanjutnya.
Ia mengatakan, Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 yang telah disahkan itu mematikan upaya peningkatan keterwakilan perempuan dalam pencalonan DPR dan DPRD.
Valentina juga meminta Bawaslu untuk melakukan pengawasan terhadap peraturan KPU tersebut.
"Sesuai kewenangannya Bawaslu harus menerbitkan Rekomendasi kepada KPU untuk segera merevisi Pasal 8 PKPU Nomor 10 Tahun 2023 bertentangan dengan UUD negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan UU Pemilu," tambahnya.
Valentina menyebut, jika Bawaslu tidak segera menindaklanjuti permohonan mereka dengan menerbitkan rekomendasi ke KPU untuk merevisi Pasal 8 Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 dalam 2x24 jam, mereka akan melakukan upaya hukum.
Baca juga: INFOGRAFIK: Keterwakilan Perempuan di DPR dalam Angka
"Menuntut pemulihan hak politik perempuan berkompetisi pada Pemilu 2024 dengan melaporkan ke DKPP dan juga melakukan uji materi ke Mahkamah Agung (MA)," jelasnya.
Diketahui, Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan terdiri dari beberapa organisasi, di antaranya Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia (KPPRI), Maju Perempuan Indonesia (MPI), Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI), Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (PERLUDEM), Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Puskapol UI, dan sebagainya.
Sebagai informasi, aturan ini belakangan ramai dikritik kalangan pegiat pemilu dan aktivis kesetaraan gender, sebab diprediksi bakal mengancam jumlah perempuan di parlemen secara signifikan.
Sebagai misal, jika di suatu dapil terdapat 8 alokasi kursi, maka jumlah 30 persen keterwakilan perempuannya adalah 2,4.
Karena angka di belakang desimal kurang dari 5, maka berlaku pembulatan ke bawah. Akibatnya, keterwakilan perempuan dari total 8 caleg di dapil itu cukup hanya 2 orang dan itu dianggap sudah memenuhi syarat.
Baca juga: Aturan Baru KPU Bisa Kurangi Keterwakilan Caleg Perempuan di Hampir Separuh Dapil
Padahal, 2 dari 8 caleg setara 25 persen saja, yang artinya belum memenuhi ambang minimum keterwakilan perempuan 30 persen.