JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengatakan, pengelolaan lembaga pemasyarakatan (Lapas) di Indonesia rawan terjadi tindak pidana korupsi.
Juru Bicara Penindakan dan Kelembagaan KPK, Ali Fikri mengatakan, pihaknya menerima beberapa aduan dari masyarakat mengenai sejumlah modus korupsi di lapas.
Modus itu antara lain, dugaan pungutan liar, suap-menyuap, penyalahgunaan wewenang hingga pengadaan barang dan jasa.
“KPK telah melakukan identifikasi terhadap pengelolaan lapas, yang juga diduga merupakan salah satu sektor yang rentan terjadinya tindak pidana korupsi,” kata Ali dalam keterangan tertulisnya kepada wartawan, Selasa (9/5/2023).
Baca juga: Wamenkumham Sebut Polisi, Jaksa, dan Hakim yang Bikin Lapas Penuh
Ali mengatakan, KPK juga telah menemukan sejumlah persoalan di dalam Lapas. Temuan ini mengacu pada hasil kajian Kedeputian Pencegahan dan Monitoring.
Beberapa masalah itu antara lain, timbulnya kerugian negara karena masalah lapas yang kelebihan kapasitas (overload), mengistimewakan narapidana kasus korupsi di rutan atau lapas.
Kemudian, mekanisme check and balance pejabat dan staf Unit Pelaksana Teknis di rutan atau lapas dalam memberikan remisi ke warga binaan pemasyarakatan; risiko menyalahgunakan kelemahan sistem data pemasyarakatan (SDP) hingga korupsi pada penyediaan bahan dan makanan.
Berkaca dari temuan kajian itu, KPK menilai tata kelola lapas harus segera diperbaiki.
“Demi memitigasi risiko korupsi,” ujar Ali.
Baca juga: Beredar Foto Fasilitas Mewah di Rutan Kebonwaru Bandung, Begini Penjelasan Kadivpas
Lebih lanjut, KPK telah menyusun sejumlah rekomendasi untuk memperbaiki tata kelola lapas di Indonesia.
Dalam rekomendasi jangka pendek, KPK menyarankan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) bersama penegak hukum terkait membuat dan menyepakati standar operasional prosedur (SOP) mengenai pengembalian tahanan yang habis dasar penahannya kepada pihak penahan.
KPK juga menyarankan sistem pemberian remisi dari positive list menjadi negative list. Hal ini dilakukan dengan memanfaatkan Sistem Database Pemasyarakatan (SDP).
Perubahan sistem pemberian remisi ini berarti narapidana yang tidak melanggar aturan berhak mendapat remisi.
“Sedangkan narapidana yang melakukan pelanggaran, akan dimasukkan ke dalam register F dan tidak berhak mendapat remisi,” kata Ali.
Baca juga: Wamenkumham Ungkap Lapas Overkapasitas, Dipenuhi Narapidana Kasus Narkotika
Kemudian, KPK juga menyarankan, pemberian remisi harus transparan dan akuntabel sehingga dapat mengurangi jumlah napi di rutan dan lapas yang melebihi kapasitas.
Langkah ini dilakukan sekaligus untuk meminimalisir kesempatan suap menyuap di dalam lapas.
Kemudian, KPK juga menyarankan rekomendasi jangka menengah seperti merevisi Peraturan Pemerintah (PP) 99 Tahun 2012 terkait pemberian remisi pada kasus narkoba.
Kemudian, membuat mekanisme diversi untuk kasus tindak pidana ringan dan pengguna narkotika. Langkah ini juga dilakukan dengan memaksimalkan peran Badan Pemasyarakatan (Bapas).
“Menempatkan atau memindahkan napi korupsi ke Nusakambangan,” ujar Ali.
Baca juga: Soal Anak Menkumham Dituding Monopoli Bisnis di Lapas, Mahfud MD Enggan Turun Tangan, Ini Alasannya
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.