Dalam kaitannya dengan panggung politik, konsep dramaturgi dapat digunakan untuk melihat bagaimana aktor-aktor politik menampilkan dirinya di hadapan publik. Di era digital seperti sekarang, khususnya di media sosial, mereka akan berlomba-lomba mengampanyekan versi terbaik dari dirinya untuk meraih simpati publik.
Mereka akan terus-menerus menonjolkan prestasi, pencapaian, kritik pedas terhadap rival politik, baik di media arus utama maupun media daring, khususnya di media sosial seperti Facebook, Instagram, Twitter.
Pemanfaatan media sosial sangat marak di era modern ini karena selain dianggap efektif dari segi pendanaan, cara ini juga memiliki kemampuan mengirim pesan dengan cepat dan bisa menjangkau khalayak di berbagai wilayah.
Aspling dalam risetnya yang berjudul The Private and The Public In Online Presentations of The Self (2011) mengatakan bahwa media sosial dimanfaatkan sebagai arena pencitraan karena pesan dapat dengan mudah disampaikan secara serentak, tanpa terhalang status sosial.
Citra positif yang kerap dibangun di media sosial biasanya adalah sosok figur yang dekat dengan rakyat, nasionalis, tegas, anti-korupsi, dan religius. Hal ini sangatlah lumrah karena di media sosial individu memiliki kecenderungan untuk menampilkan sisi positif ketimbang sisi negatif.
Hasil riset Ainal Fitri (2015) melihat bagaimana Prabowo menggunakan platform twitter @Prabowo08 untuk mengelola citra diri positifnya pada Pilpres 2014 lalu.
Hal yang sama juga terjadi dengan Joko Widodo, Ganjar Pranowo, Anies Baswedan, Ahok, dan tokoh politik lainnya yang menggunakan media sosial untuk membangun versi terbaik mereka di mata publik.
Dengan kata lain, dalam kaitannya dengan kontestasi politik, mereka akan cenderung hanya akan menampilkan citra diri yang positif saja dan sebisa mungkin menutupi rekam jejak kontroversial atau stigma negatif yang pernah melekat pada dirinya.
Hal yang perlu kita sadari adalah bahwa dalam dramaturgi citra maupun presentasi diri aktor politik bersifat konstruktif karena memang hal tersebut sengaja dibangun secara konseptual oleh suatu tim besar berdasarkan kepentingan tertentu.
Namun, bukan berarti semua bentuk pencitraan adalah hal yang bersifat buruk dan manipulatif sehingga kita menjadi pesimistis dan kehilangan kepercayaan sepenuhnya terhadap tokoh-tokoh yang dicitrakan.
Meskipun bersifat konstruktif dan konseptual, tidak semua bentuk citra diri itu negatif. Sejak dulu hingga era digital saat ini, role model atau figur yang representatif sangat diperlukan dan hal tersebut tidak bisa dilepaskan dari citra diri dalam konsep dramaturgi.
Dengan kata lain, sesuatu yang dianggap ‘baik’ juga perlu dicitrakan dan dikampanyekan karena jika tidak hal tersebut akan terabaikan oleh publik dan fatalnya bisa dikalahkan dengan bentuk-bentuk citra diri yang lain.
Oleh karena itu, untuk menanggapi hal ini, kemampuan diri kita dalam menilai tokoh politik sangat diperlukan.
Artinya kita sebagai individu harus meningkatkan literasi politik, mampu mengedepankan budaya berpikir kritis-analitik dalam menilai sesuatu supaya tidak mudah terbuai dengan citra diri di permukaan dan lebih cerdas dalam berdemokrasi.
Selain itu, budaya mengecek fakta (fact-checking) juga sangat penting untuk mengenal calon pemimpin serta melihat rekam jejak positif maupun negatif yang dimilikinya supaya kita lebih ‘matang’ dalam menentukan pilihan politik kita.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.