Kebersamaan yang terjalin antara Jokowi dan Prabowo selama ini malah saya anggap sebagai “pseudo” dukungan yang secara cerdik dimainkan Jokowi.
Jokowi di akhir masa jabatannya tentu tidak ingin meninggalkan permusuhan, tetapi tetap ingin menunjukkan kekompakkan. Jokowi akan dengan mudah menyangkal, dirinya sebagai “petugas” partai akan tegak lurus dengan perintah ketua umum partainya.
Belajar dari sejarah relasi PPP dengan PDIP selama ini, seperti membuka lembaran historis hubungan ke dua partai yang kebetulan kantornya “bersebelahan” sejak Orde Baru hingga sekarang ini di Jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta.
Walau di awal dukungan untuk Jokowi yang maju bersama Jusuf Kalla di Pilpres 2014 tidak menyertakan PPP, namun Jokowi “berbesar” hati untuk menarik PPP ke dalam gerbong pemerintahannya.
PPP pun keluar dari barisan Koalisi Merah Putih yang mendukung Prabowo – Hatta Rajasa bersama Gerindra, PKS, PAN, dan Golkar. Bahkan di Pilpres 2019, PPP tetap meneguhkan pilihannya untuk Jokowi – Ma’ruf Amin.
Kemesraan PPP dengan PDIP sejatinya telah terbangun di era represif “daripada” Soeharto. Soeharto yang semula ingin menjadikan PPP dan PDI (nama sebelum PDIP) sebagai “asesoris” demokrasi ternyata gagal. Justru PPP dan PDI menjadi oposisi dan melawan rezim Orde Baru.
Rezim Soeharto yang ingin “membonsai” kekuatan partai-partai politik dengan menjauhkan partai dari basis dukungan rakyat, sukses menjalankan perintah fusi kepada organisasi sosial politik.
Hasil Pemilu 1971 yang tidak membuat Golkar menjadi satu-satunya kekuatan politik tunggal, membuat Soeharto ingin melemahkan 9 partai-partai lain terutama yang beraliran Islam dan nasionalis.
Dengan dalih penyederhanaan partai, Soeharto menginginkan adanya dua partai dan satu golongan saja yang berhak ikut Pemilu.
Sengaja rakyat “dicekoki” kata partai agar alergi, sedangkan Golkar tidak mau disebut sebagai partai tetapi “golongan” walau pada kenyataannya semuanya menjalankan fungsi-fungsi kepartaian.
Nadhatul Ulama, Partai Muslimin Indonesia, Partai Syarikat Islam dan Perti dilebur menjadi PPP. Sedangkan PDI adalah hasil fusi dari PNI, Parkindo, Partai Katolik, Murba serta IPKI.
Sekali lagi, Soeharto menyimpan “bara” mengingat masing-masing partai sengaja dilebur agar tetap memelihara konflik internal di dalam partai-partai baru.
Internal di kedua partai sengaja “dibenturkan” agar tidak stabil dan membuat Golkar diuntungkan.
Muncullah sempalan-sempalan partai yang secara sengaja pula digarap oleh pendukung-pendukung Soeharto untuk menguntungkan Golkar di setiap ajang Pemilu.
Baik PPP maupun PDI sudah “kenyang” dan punya “jam terbang tinggi” dalam hal “dikadali” Soeharto dan rezim Orde Baru.