Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ari Junaedi
Akademisi dan konsultan komunikasi

Doktor komunikasi politik & Direktur Lembaga Kajian Politik Nusakom Pratama.

Selamat Datang Capres Dukungan PPP

Kompas.com - 26/04/2023, 07:14 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Kebersamaan yang terjalin antara Jokowi dan Prabowo selama ini malah saya anggap sebagai “pseudo” dukungan yang secara cerdik dimainkan Jokowi.

Jokowi di akhir masa jabatannya tentu tidak ingin meninggalkan permusuhan, tetapi tetap ingin menunjukkan kekompakkan. Jokowi akan dengan mudah menyangkal, dirinya sebagai “petugas” partai akan tegak lurus dengan perintah ketua umum partainya.

PPP cepat dan cerdik membaca situasi

Belajar dari sejarah relasi PPP dengan PDIP selama ini, seperti membuka lembaran historis hubungan ke dua partai yang kebetulan kantornya “bersebelahan” sejak Orde Baru hingga sekarang ini di Jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta.

Walau di awal dukungan untuk Jokowi yang maju bersama Jusuf Kalla di Pilpres 2014 tidak menyertakan PPP, namun Jokowi “berbesar” hati untuk menarik PPP ke dalam gerbong pemerintahannya.

PPP pun keluar dari barisan Koalisi Merah Putih yang mendukung Prabowo – Hatta Rajasa bersama Gerindra, PKS, PAN, dan Golkar. Bahkan di Pilpres 2019, PPP tetap meneguhkan pilihannya untuk Jokowi – Ma’ruf Amin.

Kemesraan PPP dengan PDIP sejatinya telah terbangun di era represif “daripada” Soeharto. Soeharto yang semula ingin menjadikan PPP dan PDI (nama sebelum PDIP) sebagai “asesoris” demokrasi ternyata gagal. Justru PPP dan PDI menjadi oposisi dan melawan rezim Orde Baru.

Rezim Soeharto yang ingin “membonsai” kekuatan partai-partai politik dengan menjauhkan partai dari basis dukungan rakyat, sukses menjalankan perintah fusi kepada organisasi sosial politik.

Hasil Pemilu 1971 yang tidak membuat Golkar menjadi satu-satunya kekuatan politik tunggal, membuat Soeharto ingin melemahkan 9 partai-partai lain terutama yang beraliran Islam dan nasionalis.

Dengan dalih penyederhanaan partai, Soeharto menginginkan adanya dua partai dan satu golongan saja yang berhak ikut Pemilu.

Sengaja rakyat “dicekoki” kata partai agar alergi, sedangkan Golkar tidak mau disebut sebagai partai tetapi “golongan” walau pada kenyataannya semuanya menjalankan fungsi-fungsi kepartaian.

Nadhatul Ulama, Partai Muslimin Indonesia, Partai Syarikat Islam dan Perti dilebur menjadi PPP. Sedangkan PDI adalah hasil fusi dari PNI, Parkindo, Partai Katolik, Murba serta IPKI.

Sekali lagi, Soeharto menyimpan “bara” mengingat masing-masing partai sengaja dilebur agar tetap memelihara konflik internal di dalam partai-partai baru.

Internal di kedua partai sengaja “dibenturkan” agar tidak stabil dan membuat Golkar diuntungkan.

Muncullah sempalan-sempalan partai yang secara sengaja pula digarap oleh pendukung-pendukung Soeharto untuk menguntungkan Golkar di setiap ajang Pemilu.

Baik PPP maupun PDI sudah “kenyang” dan punya “jam terbang tinggi” dalam hal “dikadali” Soeharto dan rezim Orde Baru.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Masyarakat Sipil Minta DPR Batalkan Pembahasan Revisi UU TNI karena Bahayakan Demokrasi

Masyarakat Sipil Minta DPR Batalkan Pembahasan Revisi UU TNI karena Bahayakan Demokrasi

Nasional
Aksi Cepat Tanggap Kementerian KP Bantu Korban Banjir Bandang dan Longsor di Sumbar

Aksi Cepat Tanggap Kementerian KP Bantu Korban Banjir Bandang dan Longsor di Sumbar

Nasional
Bertemu PBB di Bali, Jokowi Tegaskan Akar Konflik Palestina-Israel Harus Diselesaikan

Bertemu PBB di Bali, Jokowi Tegaskan Akar Konflik Palestina-Israel Harus Diselesaikan

Nasional
Lemhannas: Transisi Kepemimpinan Jokowi ke Prabowo Relatif Mulus, Tak Akan Ada Gejolak

Lemhannas: Transisi Kepemimpinan Jokowi ke Prabowo Relatif Mulus, Tak Akan Ada Gejolak

Nasional
Jokowi Sampaikan Dukacita atas Meninggalnya Presiden Iran

Jokowi Sampaikan Dukacita atas Meninggalnya Presiden Iran

Nasional
Laporkan Dewas KPK yang Berusia Lanjut ke Bareskrim, Nurul Ghufron Tak Khawatir Dicap Negatif

Laporkan Dewas KPK yang Berusia Lanjut ke Bareskrim, Nurul Ghufron Tak Khawatir Dicap Negatif

Nasional
Bertemu Presiden Fiji di Bali, Jokowi Ajak Jaga Perdamaian di Kawasan Pasifik

Bertemu Presiden Fiji di Bali, Jokowi Ajak Jaga Perdamaian di Kawasan Pasifik

Nasional
Saat Revisi UU Kementerian Negara Akan Jadi Acuan Prabowo Susun Kabinet, Pembahasannya Disebut Kebetulan...

Saat Revisi UU Kementerian Negara Akan Jadi Acuan Prabowo Susun Kabinet, Pembahasannya Disebut Kebetulan...

Nasional
Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron Laporkan Dewas KPK Ke Bareskrim Polri Atas Dugaan Pencemaran Nama Baik

Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron Laporkan Dewas KPK Ke Bareskrim Polri Atas Dugaan Pencemaran Nama Baik

Nasional
Marinir Ungkap Alasan Tak Bawa Jenazah Lettu Eko untuk Diotopsi

Marinir Ungkap Alasan Tak Bawa Jenazah Lettu Eko untuk Diotopsi

Nasional
MK: Tak Ada Keberatan Anwar Usman Adili Sengketa Pileg yang Libatkan Saksi Ahlinya di PTUN

MK: Tak Ada Keberatan Anwar Usman Adili Sengketa Pileg yang Libatkan Saksi Ahlinya di PTUN

Nasional
Kemenag Sayangkan 47,5 Persen Penerbangan Haji Garuda Alami Keterlambatan

Kemenag Sayangkan 47,5 Persen Penerbangan Haji Garuda Alami Keterlambatan

Nasional
Laporan Fiktif dan Manipulasi LPJ Masih Jadi Modus Korupsi Dana Pendidikan

Laporan Fiktif dan Manipulasi LPJ Masih Jadi Modus Korupsi Dana Pendidikan

Nasional
Dana Bantuan dan Pengadaan Sarana-Prasarana Pendidikan Masih Jadi Target Korupsi

Dana Bantuan dan Pengadaan Sarana-Prasarana Pendidikan Masih Jadi Target Korupsi

Nasional
Lettu Eko Terindikasi Terlilit Utang Karena Judi Online, Dankormar: Utang Almarhum Rp 819 Juta

Lettu Eko Terindikasi Terlilit Utang Karena Judi Online, Dankormar: Utang Almarhum Rp 819 Juta

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com