Masalahnya, apakah kita harus menghapus segala hal yang terkait dengan krisis itu, sekalipun orang, lokasi, atau benda yang terkait dengannya pernah memberi kita bahagia? Mengapa tidak kita pilah dengan lebih bijak, ada hal-hal baik yang pernah ada bahkan bila kemudian hal yang sama menyeret kita ke dalam krisis yang meluluhlantakkan?
Lysa Terkeurst, misalnya, mengajak kita untuk merenungi itu semua lewat bukunya yang menjadi salah satu best seller The New York Times pada 2020, Forgiving What You Can't Forget.
Buat orang Islam yang merayakan Lebaran, perintah memaafkan sebagai hal mulia dan lebih baik untuk dilakukan, muncul pula berkali-kali pula dalam Al Quran. Salah satunya, QS Asy-Syura (42):43.
Lalu, ada pula Lydia Woodyatt dkk yang menyusun Handbook of the Psychology of Self-Forgiveness, terbitan Springer pada 2017. Ada banyak kajian, kutipan, pembahasan, dan bahkan tulisan psikologi lain yang mengupas pentingnya permaafan, termasuk ke diri sendiri itu.
Pada akhirnya, semua itu bukan untuk siapa-siapa melainkan diri kita sendiri. Karena, hidup masih berjalan dan layak diperjuangkan di tiap kali bahkan di saat terberat menurut kita sekalipun.
Keajaiban maaf adalah milik setiap orang. Tinggal maukah kita mengisi ulang stok maaf, untuk meminta atau sebaliknya memberi maaf sekalipun tak selalu berupa kata-kata?
Bila mudik adalah pulang sebagai salah satu cara untuk mengisi ulang stok maaf itu, mengapa tidak?
Naskah: KOMPAS.com/PALUPI ANNISA AULIANI
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.