Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Indonesian Insight Kompas
Kelindan arsip, data, analisis, dan peristiwa

Arsip Kompas berkelindan dengan olah data, analisis, dan atau peristiwa kenyataan hari ini membangun sebuah cerita. Masa lalu dan masa kini tak pernah benar-benar terputus. Ikhtiar Kompas.com menyongsong masa depan berbekal catatan hingga hari ini, termasuk dari kekayaan Arsip Kompas.

Tentang Korupsi di Negeri Ini

Kompas.com - 13/04/2023, 11:22 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Power tends to corrupt and absolute power corrupt absolutely. ~Lord Acton~


KORUPSI. Kalau kata Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD, parahnya korupsi di negeri ini bisa digambarkan dalam satu kalimat. “Menoleh ke mana saja, ada korupsi.

Bila merujuk kutipan Lord Acton di awal tulisan ini, kekuasaan yang cenderung korupsi juga tak melulu dilakukan oleh mereka yang berada di puncak kuasa. Kuncinya ada pada kata “akses”.

Deputi Bidang Pencegahan dan Monitoring Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Pahala Nainggolan, misalnya, bercerita soal celah dari akses ini lewat contoh informasi pertanahan. Karena orang yang hendak membuka lahan butuh informasi soal tata ruang, pemilik informasi bisa memainkannya.

“Oh, ada tiga yang berminat nih, saya punya informasi. Sesederhana itu (modus dan celah korupsi di pertanahan, sebagai contoh),” kata Pahala dalam perbincangan Gaspol di Kompas.com.

Obatnya, menurut Pahala, cuma satu, yaitu transparansi. Terlebih lagi, era digital memungkinkan informasi publik diakses oleh siapa saja, kapan saja, dan dari mana saja.

Namun, digitalisasi masihlah persoalan besar di negeri ini. Kebanyakan instansi publik masih menempatkan digitalisasi pada tataran sebatas mengunggah informasi digital, belum menjalankan seluruh proses publik secara digital dan transparan.

Tidak mengherankan bila sekalipun informasinya sudah disebar ke mana-mana secara digital, pada akhirnya publik masih rentan “terjebak” di loket eksekusi. Pungutan liar tanpa kuitansi dengan nominal jauh melebihi daftar angka yang ditempel di dinding kantor dan layar digital, atas nama kelancaran layanan.

Ilustrasi korupsi keuangan negaraARSIP KOMPAS/DIDIE SW Ilustrasi korupsi keuangan negara

Meski demikian, peneliti dan Direktur Visi Integritas, Adnan Topan Husodo, mengingatkan pula bahwa pada 2020 ada survei yang mendapati bahwa korupsi di loket layanan ini juga terjadi karena publik tergoda oleh proses yang lebih cepat.

“Alasan kasih uang ekstra karena pengin proses cepat. Alasan lain, untuk ekspresi terima kasih. Tapi alasan terbanyak, proses dipercepat. Jadi (ini korupsi) instrumental karena ada motif,” tutur Adnan dalam perbincangan dengan Kompas.com, Rabu (22/2/2023).

Solusinya, kata Adnan, selain pendidikan tentang korupsi harus makin digiatkan secara efektif, juga adalah perbaikan layanan yang sebaiknya meminimalkan tatap muka di loket ataupun interaksi langsung untuk transaksi.

Contoh yang dia ajukan soal perbaikan layanan ini adalah hilangnya praktik naik kereta rel listrik (KRL) di atap begitu layanan KRL diperbaiki sejak pintu masuk stasiun.

Digitalisasi, kata Adnan, barulah satu tahapan dari keseluruhan proses yang harus dilakukan negara dan masyarakat untuk memberantas korupsi.

“Kalau bicara sektor publik dan reformanya, apalagi yang berinteraksi langsung dengan masyarakat, harus ada upaya holistik untuk mengubah,” tegas Adnan.

Proses sudah digital, ujar Adnan, tapi pada hasil akhirnya masih bisa diintervensi oleh pemilik kuasa, akhirnya sama saja. Publik akan ikut “aturan main” di lapangan.

Perbaikan holistik itu tak lepas dari faktor kesejahteraan. Namun, bila kesejahteraan sudah tercukupi masih saja ada korupsi, ungkap Adnan lugas, hukuman harus tegas ditegakkan.

“Tak ada toleransi terhadap korupsi. Meski minta Rp 40.000-Rp 50.000 harus ada hukuman yang keras, harus dikeluarkan,” ujar Adnan.

Yang terjadi, lanjut Adnan, mekanisme ini kerap tidak berjalan. Bahkan mereka yang sudah mendapatkan vonis hukum berkekuatan tetap karena kasus korupsi pun kedapatan masih dipertahankan statusnya sebagai aparatur negara, malah ada yang diangkat lagi setelah hukumannya selesai.

“Artinya (sejauh ini) negara tak anggap korupsi sebagai persoalan yang membuat birokrasi berkarat. Ini juga menjadi insentif bagi orang lain untuk melakukan kejahatan yang sama,” kecam Adnan.

Wajar bila kemudian menguar dorongan dan desakan menyegerakan pembahasan dan pengesahan RUU Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana. Seperti dikutip dalam tajuk rencana harian Kompas edisi 12 April 2023, jajak pendapat Kompas mendapati 82,2 persen responden menyuarakanya.

Tangkap layar tajuk rencana harian Kompas edisi 12 April 2023ARSIP KOMPAS Tangkap layar tajuk rencana harian Kompas edisi 12 April 2023

Dari persentase tersebut, 35,5 persen responden dalam jajak pendapat yang digelar pada 4-6 April 2023 itu menyatakan RUU Perampasan Aset ini sangat mendesak untuk diundangkan. Sayangnya, surat Presiden untuk DPR bisa memulai pembahasan RUU ini terhambat oleh belum lengkapnya paraf dari sejumlah kementerian dan lembaga negara.

Isu korupsi dalam lingkar kekuasaan kembali mengemuka sekaligus mendapat momentum dari perkara penganiayaan Mario Dandy Satrio dkk kepada D. Selain menganiaya D, Mario pamer mobil mewah.

Ditelusuri lebih lanjut, bapak Mario, Rafael Alun Trisambodo, pada saat itu adalah pejabat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan. Keuangannya pun lalu diuprek atas perintah langsung Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.

Bersamaan, Mahfud MD lantang menyuarakan temuan-temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Tak hanya untuk kasus Rafael dan sejenisnya tetapi juga tentang dugaan transaksi janggal di lingkungan Kementerian Keuangan senilai Rp 349 triliun.

Angka itu bukan seluruhnya dugaan pelanggaran di Kementerian Keuangan, memang. Namun, sebagian besar di antaranya diduga merupakan praktik kotor yang terjadi di area perpajakan dan bea cukai.

Terlepas dari itu semua, Adnan pun menyebutkan bahwa perubahan holistik untuk menangkal korupsi di negeri ini harus benar-benar dikemudikan oleh negara dalam sejumlah aspek, terutama penataan birokrasi.

Lalu, imbuh Adnan, nilai-nilai anti-korupsi pun harus didengungkan untuk menjadi nilai keseharian masyarakat, sejak dari keluarga.

“Ada tantangan subyektif dan variatif,” tegas Adnan.

Dilihat dari sejarahnya, korupsi di negeri ini sudah teramat panjang. Peter Carey dan Suhardiyoto Haryadi, misalnya, memotret praktik panjang korupsi di Nusantara dalam buku Korupsi dalam Silang Sejarah Indonesia: Dari Daendels (1808-1811) sampai Era Reformasi.

Halaman sampul buku Korupsi dalam Silang Sejarah Indonesia: Dari Daendels (1808-1811) sampai Era Reformasi karya Peter Carey dan Suhardiyoto Haryadi. Gambar diambil pada 13 April 2023.KOMPAS.com/PALUPI ANNISA AULIANI Halaman sampul buku Korupsi dalam Silang Sejarah Indonesia: Dari Daendels (1808-1811) sampai Era Reformasi karya Peter Carey dan Suhardiyoto Haryadi. Gambar diambil pada 13 April 2023.

Pertanyaannya, apakah sejarah korupsi hendak diteruskan lagi bergenerasi-generasi di negeri ini? Kita semua yang harus menjawabnya.

Naskah: KOMPAS.com/PALUPI ANNISA AULIANI

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Pengusaha Hendry Lie Jadi Tersangka Kasus Korupsi Timah

Pengusaha Hendry Lie Jadi Tersangka Kasus Korupsi Timah

Nasional
Prabowo: Kami Maju dengan Kesadaran Didukung Kumpulan Tokoh Kuat, Termasuk PBNU

Prabowo: Kami Maju dengan Kesadaran Didukung Kumpulan Tokoh Kuat, Termasuk PBNU

Nasional
Prabowo: Saya Merasa Dapat Berkontribusi Beri Solusi Tantangan Bangsa

Prabowo: Saya Merasa Dapat Berkontribusi Beri Solusi Tantangan Bangsa

Nasional
Prabowo Sebut Jokowi Siapkan Dirinya Jadi Penerus

Prabowo Sebut Jokowi Siapkan Dirinya Jadi Penerus

Nasional
Prabowo mengaku Punya Kedekatan Alamiah dengan Kiai NU

Prabowo mengaku Punya Kedekatan Alamiah dengan Kiai NU

Nasional
Imigrasi Deportasi 2 WN Korsel Produser Reality Show 'Pick Me Trip in Bali'

Imigrasi Deportasi 2 WN Korsel Produser Reality Show "Pick Me Trip in Bali"

Nasional
Prabowo Berterima Kasih ke PBNU karena Komitmen Dukung Pemerintahan ke Depan

Prabowo Berterima Kasih ke PBNU karena Komitmen Dukung Pemerintahan ke Depan

Nasional
Gus Yahya: Tak Ada Peran yang Lebih Tepat bagi PBNU Selain Bantu Pemerintah

Gus Yahya: Tak Ada Peran yang Lebih Tepat bagi PBNU Selain Bantu Pemerintah

Nasional
Gus Yahya: Ini Halal Bihalal Keluarga, Prabowo-Gibran Anggota Keluarga NU

Gus Yahya: Ini Halal Bihalal Keluarga, Prabowo-Gibran Anggota Keluarga NU

Nasional
Data Penyelidikan SYL Diduga Bocor, KPK Akan Periksa Internal Setelah Febri Diansyah dkk Bersaksi di Sidang

Data Penyelidikan SYL Diduga Bocor, KPK Akan Periksa Internal Setelah Febri Diansyah dkk Bersaksi di Sidang

Nasional
Prabowo Tiba di Acara Halal Bihalal PBNU, Diantar Gibran Masuk Gedung

Prabowo Tiba di Acara Halal Bihalal PBNU, Diantar Gibran Masuk Gedung

Nasional
Gerindra Tegaskan Prabowo Belum Susun Kabinet, Minta Pendukung Tak Bingung

Gerindra Tegaskan Prabowo Belum Susun Kabinet, Minta Pendukung Tak Bingung

Nasional
Hadiri Halal Bihalal PBNU, Gibran Disambut Gus Yahya dan Gus Ipul

Hadiri Halal Bihalal PBNU, Gibran Disambut Gus Yahya dan Gus Ipul

Nasional
Gempa Garut, Tenda Pengungsian Didirikan di Halaman RS Sumedang

Gempa Garut, Tenda Pengungsian Didirikan di Halaman RS Sumedang

Nasional
Anies Diprediksi Bakal Terima Tawaran Nasdem Jadi Cagub DKI jika Tak Ada Panggung Politik Lain

Anies Diprediksi Bakal Terima Tawaran Nasdem Jadi Cagub DKI jika Tak Ada Panggung Politik Lain

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com