JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI menegaskan, eks terpidana yang diancam bui 5 tahun lebih tidak dapat mencalonkan diri sebagai anggota legislatif sebelum bebas 5 tahun, tak peduli pada tahun berapa ia bebas.
Sebagai informasi, larangan ini merupakan amanat dari putusan MK nomor 87/PUU-XX/2022 dan 12/PUU-XXI/2023 yang akan dimasukkan KPU ke dalam peraturan soal pencalonan anggota DPR RI, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, dan DPD.
Ketua KPU RI Hasyim Asy'ari beralasan, dari kacamata hukum tata negara, putusan MK berlaku sejak konstitusi ditulis, karena batu uji normanya menggunakan UUD 1945.
Baca juga: Komisi II Pertanyakan Aturan Eks Terpidana Harus Tunggu 5 Tahun Sebelum Daftar Caleg
"Uji norma yang sifatnya deklaratif atau pernyataan, ini memang dibacakannya sesuai tanggal dibacakan. Tapi sesungguhnya karena batu ujinya adalah norma di dalam konstitusi, maka orang yang masuk konstruksi apakah memenuhi syarat atau tidak, misalkan soal batas waktu 5 tahun, itu sejak konstitusi ditulis, bukan sejak putusan dibacakan," jelas Hasyim dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi II DPR RI, Selasa (12/4/2023).
Sebelumnya, ada aspirasi dari Komisi II DPR RI agar larangan itu tidak diberlakukan untuk eks terpidana yang sudah bebas sebelum putusan MK tersebut terbit.
Anggota Komisi II DPR RI dari fraksi PAN Guspardi Gaus, misalnya, menyinggung keadaan sejumlah bakal calon anggota DPD RI eks terpidana, yang disebut telah banyak mengucurkan uang buat menghimpun syarat dukungan minimum berupa KTP warga di daerah pemilihannya masing-masing.
Setelah proses ini berlangsung pada 16-29 Desember 2022 sebagai syarat pencalonan dari KPU, barulah MK menerbitkan putusan tersebut.
Hal ini dianggap memberatkan bakal caleg DPD itu karena perjuangan mereka menghimpun KTP dianggap jadi sia-sia.
Hasyim menegaskan bahwa mau tak mau memang bakal caleg DPD itu bakal dinyatakan tidak memenuhi syarat.
"Betul bahwa pencalonan anggota DPD sudah dilakukan sejak 16-29 Desember 2022. Sehingga, ada situasi bakal calon tertentu memenuhi syarat untuk dukungan. Namun, syarat pencalonannya jadi tidak memenuhi karena ada putusan MK itu," ujar dosen hukum tata negara Universitas Diponegoro itu.
Baca juga: Putusan Tunda Pemilu Batal, KPU: Peradilan Pemilu Kembali ke Jalur yang Benar
Hasyim menyinggung kasus Ketua Umum Partai Hanura, Oesman Sapta Oddang, yang mencalonkan diri sebagai bakal calon anggota DPD RI pada Pileg 2019 dan sempat dinyatakan KPU memenuhi syarat sebagai Daftar Calon Sementara (DCS).
"Di tengah masa antara DCS dan DCT (Daftar Calon Tetap), muncul putusan MK bahwa pengurus partai politik dilarang mencalonkan diri sebagai calon DPD," kata dia.
"Bahkan walaupun sudah memenuhi syarat DCS, yang bersangkutan tetap kami nyatakan tidak memenuhi syarat masuk DCT karena putusan MK sudah ada sejak konstitusi ditulis, bukan sejak putusan MK dibacakan," pungkas Hasyim.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.